Bisnis.com, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan atau OJK semakin bersemangat menindak para penjahat sektor layanan finansial menyusul peneguhan kewenangan penyidikan lembaga tersebut oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam Putusan No. 102/PUU-XVI/2018, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan kewenangan penyidikan OJK tidak bertentangan dengan konstitusi. Meski demikian, MK mewanti-wanti bahwa penyidik OJK mesti berkoordinasi dengan Kepolisian Negara RI (Polri) ketika menjalankan kewenangan penindakan tersebut.
Kepala Departemen Hukum OJK Rizal Ramadhani memastikan bahwa penyidik lembaganya selalu berkoordinasi dengan instansi penegak hukum. Bahkan, OJK telah meneken nota kesepahaman dengan Polri, termasuk juga dengan Kejaksaan RI dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Koordinasi biar dalam sistem peradilan pidana tidak tumpang tindih,” katanya seusai sidang pengucapan putusan uji materi UU OJK di Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Rizal mengakui bahwa UU No. 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK) tidak memerinci klasifikasi tindak pidana garapan penyidik OJK. Pasalnya, pengaturan tindak pidana sudah tercantum dalam UU sektoral seperti UU No. 7/1992 tentang Perbankan, UU No. 11/1992 tentang Dana Pensiun, UU No. 5/1995 tentang Pasar Modal, hingga UU No. 40/2014 tentang Perasuransian.
UU OJK, imbuh Rizal, memungkinkan lembaga penegak hukum lain untuk menyidik tindak pidana sektor jasa keuangan. Meski demikian, kelebihan penyidik OJK adalah kompetensi seluk-beluk bidang layanan finansial ketimbang penyidik Polri yang generalis.
Sepanjang 2019, penyidik OJK telah menggarap 50 perkara sektor jasa keuangan. Dari jumlah tersebut, lebih dari 20 berkas perkara dinyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum alias P21.
Rizal menjamin penyidikan OJK semata-mata ditujukan untuk menjaga usaha jasa keuangan. Jangan sampai, imbuh dia, para pelaku kriminal mengacak-acak stabilitas jasa keuangan sehingga perlindungan konsumen terganggu.
“Kalian penjahat, jangan main-main sama kami!” ucapnya.
Meski sejak berdiri telah menindak penjahat sektor jasa finansial, enam orang warga negara menggugat kewenangan penyidikan OJK. Mereka terdiri dari empat pengajar Fakultas Hukum Universitas Surakarta beserta dua pegawai PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) yang disangka melakukan tindak pidana jasa keuangan.
Menurut para pemohon, frasa ‘dan penyidikan’ dalam Pasal 1 angka 1 dan kata ‘penyidikan’ dalam Pasal 9 huruf c UU OJK tidak memberikan kepastian hukum. Menurut mereka, OJK didesain sebagai lembaga penegak hukum administrasi, tidak masuk ke ranah penegakan hukum pidana.
Para pemohon mendalilkan pula kewenangan penyidikan dalam konteks pro justicia tidak tepat diberikan kepada OJK. Di samping itu, para penggugat menyoal keberadaan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di OJK mengingat karyawan lembaga tersebut tidak berstatus PNS.
Para pemohon juga menuding PPNS OJK tidak tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) melainkan semata pada UU OJK dan peraturan OJK (POJK). Padahal, penyidik OJK berwenang melakukan penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran yang berpotensi melangggar perlindungan hak asasi manusia.
Menanggapi dalil para pemohon, Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan bahwa kewenangan-kewenangan OJK tidak terlepas dari upaya menumbuhkan perekonomian nasional secara berkelanjutan dan stabil. Guna kepentingan penegakan hukum, kewenangan penyidikan pun turut diserahkan kepada OJK melalui UU.
Saldi membantah dalil para pemohon bahwa penegakan hukum OJK terbatas pada hukum administrasi. Meski demikian, penindakan hukum pidana oleh OJK mesti terikat dalam koridor integrated criminal justice system.
Agar asas tersebut terjaga, Saldi mengingatkan kepada penyidik OJK untuk senantiasa berkoordinasi dengan Polri. Koordinasi dilakukan sejak penerbitan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP), pelaksanaan penyidikan, hingga pemberkasan sebelum perkara dilimpahkan kepada JPU.
“Terlepas dari jenis-jenis tindak pidana dalam sektor jasa keuangan beragam, Mahkamah memadang kewenangan penyidikan OJK adalah konstitusional,” ujar Saldi saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 102/PUU-XVI/2018.