Bisnis.com, JAKARTA – Pagi, 5 November 2008, sehari setelah pemilihan Presiden AS, Presiden China Hu Jintao mengucapkan selamat kepada Barack Obama atas kemenangannya.
Hu adalah salah satu kepala negara pertama yang melakukannya. Lebih dari itu adalah pesan yang disampaikannya untuk masa depan hubungan kedua raksasa ekonomi itu. “China dan Amerika Serikat memiliki kepentingan bersama yang luas dan tanggung jawab yang penting atas berbagai isu utama kesejahteraan umat manusia,’ ujar Hu dalam pesannya.
Presiden China itu paham betul bahwa kerja sama yang kokoh antara Washington dan Beijing merupakah modal penting untuk meningkatkan hubungan di segala bidang, yang manfaatnya tidak hanya dapat dirasakan sebesar-besarnya oleh rakyat kedua negara tetapi juga seluruh dunia.
Seperti dikatakannya, “Dalam era baru yang bersejarah ini [tampilnya Obama sebagai Presiden AS], saya berharap dapat bekerja sama dengan Anda untuk terus memperkuat dialog dan pertukaran antara kedua negara, serta meningkatkan rasa saling percaya dan kerja sama dengan maksud membawa hubungan kita ke tingkatan baru yang lebih tinggi serta memberi manfaat bagi rakyat kedua negara kita dan seluruh dunia.”
Saat mengumumkan penunjukan Jon Huntsman Jr sebagai duta besar di China, Presiden Obama berkata, “Saya tidak mengetahui apakah ada tugas lain yang lebih penting daripada menciptakan sejenis jembatan antara kedua negara kita yang tidak hanya akan menentukan kesejahteraan rakyat Amerika an China, tetapi juga masa depan dunia.”
Apa yang tersisa dari memori indah penuh harapan pada 2008 itu? Hancur berantakan!
Untuk memperkuat hubungan China-AS, Hu ingin membangun pilar ‘kepentingan bersama’, ‘tanggung jawab yang penting’, ‘rasa saling percaya’ hingga ‘peningkatan kualitas hubungan’.
Tak kalah bersemangat dengan Obama dalam visinya mengenai China sebagai mitra, yaitu membangun ‘jembatan persahabatan yang solid dan kokoh’ agar dunia juga merasakan manfaat besarnya.
Apa yang tersisa dari harmoni negeri Paman Sam dan Sang Naga di pengujung 2019 ini? Habis semua ditelan kecamuk Perang Dagang. Tak ada lagi pidato bernada penuh persahabatan ala Hu dan Obama. Setahun terakhir, konflik dagang kian panas. Aksi balas kian pedas meski beberapa hari terakhir ada secuil kemajuan dialog.
Yang terakhir, Beijing bersumpah untuk memberikan sanksi kepada sejumlah organisasi hak asasi Amerika dan menghentikan kunjungan kapal perang ke Hong Kong. Sikap frontal ini diambil sebagai respons atas keputusan Presiden Donald Trump menandatangani legislasi yang menunjukkan dukungan Washington untuk para demonstran di Hong Kong.
China mengatakan bahwa kelompok-kelompok yang menjadi sasaran sanksi adalah antara lain National Endowment for Democracy, Human Rights Watch, dan Freedom House. Beijing merasa AS telah melampauai langkahnya dengan ikut campur dalam masalah internal mereka di Hong Kong.
Sekali lagi kita melihat bahwa dalam tataran positif, kemesraan China-AS telah membawa harapan yang baik pula bagi perekonomian global hingga sekira satu dekade lalu. Dan sebaliknya, efek Perang Dagang yang telah meluas hingga ke palagan Hong Kong, juga membuat ekonomi dan bisnis dunia makin lesu darah. Tak dapat dipungkiri dampaknya dirasakan pula oleh kalangan dunia usaha di Tanah Air.
Hal yang cukup menghentak adalah tak ada satu pun dari 33 perusahaan yang merelokasikan usahanya dari China ke Indonesia sebagai buntut Perang Dagang. Mereka lebih memilih Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Thailand.
Di tahun 2020, tensi dari konflik kedua raksasa ekonomi dunia itu diperkirakan terus meningkat. Apakah ‘gencatan senjata’ hanya dimungkinkan bila Gedung Putih dipimpin sosok baru pengganti Trump? Belum terlalu jelas dan terlalu dini pula mengatakan demikian. Pasalnya, belum ada pernyataan yang cukup kuat dari para calon kandidat presiden AS mengenai masa depan hubungan China-AS, kecuali dari Trump sendiri.
Relasi AS-China memang penuh dinamika. Namun Perang Dagang saat ini, diwakili oleh sosok yang berseteru, Donald Trump dan Xi Jinping, bisa dikatakan sebagai konflik paling mendidih sejak ‘pemulihan hubungan’ kedua negara pada 15 Desember 1978. Saat itu AS dipimpin oleh Jimmy Carter. China oleh Deng Xiaoping.
Hari bersejarah itu digambarkan secara apik oleh Shen Dingli, Direktur Pusat Studi Amerika di Fudan University, Shanghai. “Setelah tiga puluh tahun bekerja sama dan berselisih, Beijing dan Washington sama-sama menyadari bahwa dialog serta kerja sama adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dan hasil menang-menang. Mekanisme dialog strategis yang dipromosikan para pemimpin kedua negara akan diperkuat,” ujarnya seperti dikutip John dan Doris Naisbitt dalam China’s Megatrends.
Kini, tak hanya harapan Dingli yang kandas. Para pemimpin dunia juga menyuarakan kecemasannya. Keprihatinan yang sepatutnya juga disimak Paman Sam dan Sang Naga.