“Saya tidak akan membuat janji-janji kosong kepada anda. Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan.”
Demikian sepenggal kalimat yang ditulis Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dalam salinan pidatonya pada upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional tahun ini.
Salinan utuh pidato yang ditulis pada 25 November 2019 itu beredar di media sosial dan mendapatkan sambutan positif dari warganet. Dalam pidatonya, Nadiem mengajak seluruh guru di Indonesia untuk melakukan perubahan, sekecil apapun itu. “Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama,” katanya.
Tak lama berselang setelah peringatan hari guru tersebut, Nadiem mendapatkan ‘kado’ kurang sedap berupa laporan dari The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tentang tingkat literasi siswa Indonesia.
Laporan yang dirilis pada 3 Desember 2019 itu menjelaskan bahwa Indonesia mencatatkan penurunan tingkat literasi pada siswa di pendidikan menengah, yang dinilai sebagai yang terburuk selama lebih dari satu dekade terakhir.
Baca Juga
Sejumlah indikator kualitas pendidikan itu tercermin dalam skor Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang mengukur sejumlah keahlian siswa berusia 15 tahun dari 77 negara.
Berturut-turut, skor PISA Indonesia pada 2018 yakni 371 untuk literasi, 379 untuk sains, dan 396 untuk matematika. Skor tersebut, khususnya literasi, turun dari hasil PISA pada 2015 sebesar 403, 396 pada 2012, 402 pada 2009 dan 393 pada 2006.
Dengan skor tersebut, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 77 negara peserta, dan hanya lebih baik dibandingkan dengan Maroko, Lebanon, Kosovo, Republik Dominika, dan Filipina.
Sepekan usai skor PISA 2018 dirilis, Nadiem meluncurkan kebijakan bertajuk Merdeka Belajar.
Kebijakan ini akan mengubah empat program pendidikan nasional yang sudah berjalan yakni Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Nadiem mengatakan arah kebijakan tersebut sejalan dengan praktik di level internasional seperti PISA dan Trend in International Mathematics and Science Study (TIMSS).
Dari empat pokok kebijakan, lanjutnya, penghapusan UN mulai 2021 menjadi yang paling disorot publik karena telah menjadi kontroversi dan tarik ulur selama pemerintahan sebelumnya. Ujian Nasional 2020 merupakan penyelenggaraan yang terakhir kalinya.
“UN akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter, yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa [literasi], kemampuan bernalar menggunakan matematika [numerasi], dan penguatan pendidikan karakter,” katanya.
Pelaksanaan ujian tersebut akan dilakukan oleh siswa yang berada di tengah jenjang sekolah, misalnya kelas 4, 8, dan 11 sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran.
Sementara itu, penyelenggaraan USBN pada 2020 akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian itu dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan.
Kemendikbud juga akan menyederhanakan penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dengan memangkas beberapa komponen. Guru diberi kebebasan memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP. Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen.
Dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi dengan kebijakan lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen, sedangkan untuk jalur prestasi atau sisanya disesuaikan dengan kondisi daerah.
Rencana pemerintah itu disambut beragam. Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif meminta rencana Mendikbud menghapus UN tidak diputuskan secara tergesa-gesa serta perlu kajian mendalam.
“Jangan serampangan [menghapus UN]. [Pengelolaan pendidikan] ini bukan [seperti mengelola] Gojek,” kata Syafii seusai menghadiri pengukuhan Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir sebagai guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) di Sportorium UMY, Kamis (12/12).
Syafii khawatir jika akhirnya dihapus, UN yang selama ini dipandang sebagai penjaga mutu belajar siswa, akhirnya akan membuat para siswa tidak sungguh-sungguh lagi dalam belajar.
Setali tiga uang, Mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla juga melemparkan kritik. Menurutnya, rencana menghapus UN bukan langkah yang tepat. “Jangan menciptakan generasi muda yang lembek,” kata JK pada momen yang sama.
Menurutnya, pendekatan pendidikan melalui bakat sulit dilakukan karena ada 5 juta siswa baru setiap tahun sehingga dibutuhkan sumber daya besar untuk melakukan hal ini.
MENDAPAT DUKUNGAN
Di sisi lain, ada yang mendukung langkah Nadiem. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menggarisbawahi penguatan literasi sebagai program dan gerakan yang memerlukan perhatian khusus.
Menurutnya, penguatan literasi tidak hanya digenjot pada siswa, tetapi dibudayakan di lingkungan guru, masyarakat, sekolah, dan keluarga. “Ini satu kesatuan yang tidak bisa dipisah,” katanya.
Praktisi Pendidikan dan Ketua Kampus Guru Cikal Budi Setiawan Muhamad mengatakan, kebijakan Merdeka Belajar, khususnya pada poin asesmen, telah menjawab keresahan para guru selama ini.
Kebijakan asesmen sebagai pengganti USBN membuka ruang bagi variasi model ujian. Kini, lanjutnya, ujian bukan hanya soal dan jawaban, tetapi juga menghasilkan karya.
Selain itu, penyederhanaan RPP juga menjawab kebutuhan untuk mendapat kebebasan menentukan proses yang berlangsung di ruang kelas. Ini memberi kesempatan bagi sekolah untuk memperbaiki diri.
Budi mengatakan, tantangan penerapan kebijakan ini adalah kondisi birokrasi pendidikan baik di pusat dan daerah yang sudah terbiasa memerintah.
Mendikbud memiliki pekerjaan rumah besar untuk mengubah mental birokrasi penguasa menjadi pelayan, dari eksekutor program menjadi fasilitator program dan dari pengawas menjadi pendamping belajar.
“Ada dua pola yang bisa dilakukan Menteri Nadiem. Pertama, mengedukasi birokrasi pendidikan, kedua, menguatkan gerakan guru dan pendidik dari akar rumput.”
Ena Nurjanah, Ketua Lembaga Perlindungan Anak Generasi menilai bahwa poin krusial yang perlu segera ditindaklanjuti terkait dengan kebijakan tersebut adalah kompetensi dan kualitas guru.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Listyarti mengapresiasi kebijakan transformatif ini. Namun, dia menyesalkan penurunan persentase zonasi jarak murni yang semula sudah mencapai 80 persen menjadi 50 persen saja.
Pada dasarnya, konsep merdeka belajar yang diinisiasi Mendikbud Nadiem merupakan upaya penyederhanaan aturan yang mengekang iklim inovasi pada sistem pendidikan nasional.
Mantan bos Gojek tersebut mengakui bahwa kebijakan ini tidak akan berdampak cepat seperti membalikkan telapak tangan.
Setidaknya dibutuhkan waktu 10 hingga 15 tahun untuk mengubah arah sistem pendidikan yang selama ini sudah cukup mapan.
“Satu hal yang pasti, saya akan berjuang untuk kemerdekaan belajar di Indonesia,” tegas Nadiem.