Bisnis.com, JAKARTA – Kasus tender pengadaan barang dan jasa masih tetap menjadi terbesar yang ditangani Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Mayoritas pelanggaran bertalian erat dengan aktivitas korupsi.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Dinni Melanie mengatakan bahwa sebagian besar perkara yang ditangani pihaknya, atau setara dengan 71 persen, merupakan perkara pelanggaran prinsip persaingan usaha pada proses tender pengadaan barang dan jasa. Data itu, lanjutnya, didapatkan sejak era 2000.
“Dari 382 perkara yang ditangani KPPU sejak tahun 2000, 71 persen atau 273 perkara merupakan kasus tender,” tuturnya.
Dia tidak memungkiri bahwa perkara-perkara tersebut erat kaitannya dengan kepala daerah, karena mayoritas perkara berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa di tingkat daerah. Akan tetapi, persoalan di luar persaingan usaha bukan menjadi perhatian serta kewenangan komisi tersebut.
KPPU sejauh ini telah menerbitkan panduan untuk menghindari terjadinya persekongkolan dalam tender.
Arahan yang diluncurkan lebih dari satu dasawarsa silam menjelaskan bahwa Pasal 22 Undang-undang (UU) No.5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Baca Juga
Jika dilihat dari perilaku, tindakan persekongkolan tergolong dalam beberapa jenis yakni melakukan pendekatan dan kesepakatan dengan instansi terkait atau penyelenggara panitia sebelum pelaksanaan tender mengenai berbagai hal yang dapat mengarah untuk memenangkan pelaku usaha tertentu.
Jenis lainnya adalah melakukan pendekatan dan kesepakatan mengenai spesifikasi, merek, jumlah, tempat dan waktu penyerahan barang dan jasa yang akan ditenderkan, melakukan pendekatan dan kesepakatan mengenai cara, tempat, waktu dan batasan pengumuman tender, serta melakukan komunikasi atau berbagi informasi yang terkait dengan harga penawaran yang akan diajukan dalam tender.
Selain itu, perilaku lain yang dapat dikategorikan sebagai persekongkolan adalah memberi kesempatan secara eksklusif oleh penyelenggara kepada pelaku usaha tertentu, menciptakan persaingan semu, melakukan penyesuaian penawaran antarpelaku usaha, melakukan pembagian kesempatan memenangkan tender di antara pelaku usaha, dan melakukan penyesuaian termasuk manipulasi persyaratan tender dan penawaran yang diterima untuk pelaku usaha tertentu.
Dengan adanya persekongkolan tersebut, pihak-pihak yang terlibat persekongkolan dapat memperoleh keuntungan, antara lain meningkatkan pendapatan, kepastian usaha bagi peserta tender yang bersekongkol dalam memperoleh barang atau jasa yang ditawarkan, dan peningkatan kekuatan pasar bagi pelaku usaha yang bersekongkol dengan cara menghambat kegiatan usaha pesaingnya secara terus menerus.
Sidang Perkara dugaan persekongkolan tender di KPPU Medan.
Dampak Bagi Konsumen
Dampaknya, konsumen atau pemberi kerja membayar harga yang lebih mahal dari pada yang sesungguhnya. Barang atau jasa yang diperoleh seringkali lebih rendah kualitasnya dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur.
Selain itu, persekongkolan jadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk memenangkan tender, nilai tender menjadi lebih tinggi akibat penggelembungan, serta kemungkinan terjadinya pembagian kesempatan maupun wilayah kerja apabila terjadi pengaturan sesama maupun untuk para peserta tender.
KPPU juga membeberkan informasi tentang persekongkolan yang dapat diendus melalui beberapa tanda seperti waktu pengumuman tender yang sangat terbatas, jumlah peserta tender yang lebih sedikit dari biasanya, para peserta tender memasukkan harga penawaran yang hampir sama, beberapa peserta tender secara konsisten memasukkan harga penawaran yang rendah dan memenangkan tender secara terus menerus di wilayah tertentu, dan pelaku usaha memenangkan tender cenderung berdasarkan giliran yang tetap.
Indikasi persekongkolan juga bisa dilihat pada selisih harga yang besar antara harga yang diajukan pemenang tender dengan harga penawaran peserta lainnya, dengan alasan yang tidak wajar atau tidak dapat dijelaskan, peserta tender yang sama, dalam tender yang berbeda menawarkan harga yang berbeda untuk barang/jasa yang sama dibandingkan pada tender lainnya, tanpa alasan yang logis untuk menjelaskan perbedaan tersebut.
Akan tetapi, panduan tersebut dinilai tidak cukup. Karena itu, ada upaya untuk mewujudkan keterbukaan kontrak di Indonesia yang terlontar dalam lokakarya peningkatan kapasitas masyarakat sipil di sektor pengadaan barang dan jasa yang kemudian dipublikasikan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) belum lama ini.
Keterbukaan kontrak dinilai dapat memperbaiki proses pengadaan melalui penyediaan data yang lebih baik, analisis, dan pelibatan masyarakat sipil dan sektor swasta, termasuk mempublikasikan data terbuka dan dokumen mengenai perencanaan, pengadaan, dan pengelolaan kontrak publik.
Selain itu, keterbukaan kontrak yang melibatkan masyarakat dan sektor swasta sebagai pengguna informasi yang akan berdampak pada peningkatan akuntabilitas dan kompensasi oleh lembaga pemerintah atau kontraktor dengan menindaklanjuti umpan balik yang diterima.
Rekomendasi
Karena itu, beberapa rekomendasi dinilai perlu dilakukan untuk mewujudkan keterbukaan tersebut seperti Pemerintah Indonesia, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) perlu memperkuat implementasi sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik dan secara bertahap melakukan transisi ke mekanisme publikasi data yang sejalan dengan Standar Data Keterbukaan Kontrak (OCDS).
Kebijakan satu data pemerintah harus dilindungi dan didukung. Pengenalan satu portal pemerintah, jika direplikasi ke dalam sistem pengadaan barang dan jasa, akan dapat menghapus berbagai portal yang sudah ada yang menyederhanakan sistem tersebut. Sistem e-procurement yang sudah ada mesti lebih efisien dengan mewajibkan cara pengadaan yang lain untuk menggunakan sistem ini.
Saat ini, data LKPP menunjukkan bahwa hanya 30 persen pengadaan barang dan jasa dilakukan melalui sistem e-procurement. Selain itu, jika sistem e-procurement diperbaiki, proses pengadaan barang dan jasa harus dilakukan berdasarkan standar data, akan lebih baik jika menggunakan OCDS, untuk memastikan keberfungsian dan penerapannya di seluruh lembaga yang melakukan pengadaan, dan seluruh tahap pengadaan barang dan jasa, mulai dari perencanaan hingga penyelesaian.
Pengarusutamaan sistem keterbukaan kontrak di proyek percobaan, seperti di Bandung, harus didukung dan direplikasi. Upaya ini dapat dilakukan secara bersamaan dengan peningkatan keterampilan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dan infrastruktur di seluruh wilayah.
DPR juga diminta berperan menerbitkan undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa yang terpadu. Kunci untuk menciptakan rezim hukum pengadaan barang dan jasa yang kuat dan lebih transparan adalah adanya Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa, bukan hanya peraturan presiden.
UU ini dinilai perlu membahas potensi konflik antara Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Definisi data publik perlu diperjelas, pun dengan definisi informasi yang dikecualikan. Keberadaan definisi tersebut dapat mencegah munculnya penolakan dari pejabat publik untuk memublikasikan data karena khawatir terhadap penuntutan yang diatur di dalam UU ITE.
Pemerintah Indonesia perlu memperkuat keterbukaan informasi kontrak dengan memandatkan pemublikasian informasi pasca penunjukkan pemenang tender dan mengharuskan informasi tersebut dipublikasikan dalam format terbuka.
UU yang mewajibkan pemerintah untuk memublikasikan bentuk-bentuk data dan informasi, baik berdasarkan permintaan maupun secara proaktif, harus diberlakukan.
Pemerintah juga harus menetapkan peraturan, mungkin di dalam skema satu data, untuk memublikasikan lebih banyak informasi yang berkaitan dengan berbagai tahap pengadaan barang dan jasa, idealnya dalam format data terbuka. Upaya ini dapat diatur di dalam sebuah regulasi, sambil menunggu berlakunya Undang-Undang Pengadaan Barang dan Jasa yang terpadu.