Bisnis.com, JAKARTA- Badan Arbitrase Nasional Indonesia menerbitkan buku perjalanan lembaga itu dalam rangka ulang tahun yang ke 42 tahun ini.
Ketua Umum Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Husseyn Umar mengatakan bahwa penerbitan buku bertajuk Peran BANI dalam Arbitrase di Indonesia bertujuan memberikan pemahaman tentang dunia arbitrase di Indonesia.
Adapun peluncuran buku tersebut telah dilakukan pada akhir November 2019.
Menurutnya, buku tersebut menjelaskan perjalanan BANI selama 42 tahun berkembang dalam dunia arbitrase di Indonesia menggunakan acuan Arbitrase Internasional, jauh sebelum adanya Undang-undang (UU) Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.
“Sejak 1977 BANI berdiri, secara kongkrit tidak ada orang yang tahu arbitrase itu apa walaupun dahulu ada peraturan pada zaman Belanda namun namanya bukan arbitrase tapi pewasitan,” ujarnya, Kamis (5/12/2019).
Dia berharap dengan diluncurkannya buku ini, seluruh pelaku arbitrase menjadi paham tentang proses arbitrase di Indonesia. Saat ini, tuturnya, penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase sangat dipertimbangkan bagi para pelaku usaha, jadi sayang sekali jika pelaku bisnis tidak memahami dengan baik tentang arbitrase.
Sekretaris Jenderal BANI N. Krisnawenda menambakan Peradilan arbitrase di Indonesia dianggap lebih menarik dibandingkan peradilan arbitrase di luar negeri karena memiliki prosedur eksekusi yang lebih singkat.
Dia mengatakan bahwa sesuai UU Nomor 30 Tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, suatu putusan arbitrase yang digelar di luar Indonesia namun salah satu pihaknya berasal dari Indonesia, harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
“Dari situ, akan dilanjutkan ke Mahkamah Agung. Jika tidak ada persoalan, maka akan dikembalikan lagi ke PN Jakarta Pusat, kemudian dibawa ke pengadilan tempat pihak tersebut berdomisili agar dieksekusi,” ujarnya.
Menurut dia, rantai prosedur yang panjang ini menjadi tidak menarik bagi para pihak, baik yang berasal dari luar negeri maupun dalam negeri dalam sidang arbitrase itu.
Hal ini kemudian mendorong para pihak yang terlibat sengketa dengan pihak dari Indonesia, untuk mengikuti peradilan arbitrase di Indonesia.
Pasalnya, prosedur eksekusi peradilan arbitrase di Indonesia dianggap lebih singkat dan sederhana dibandingkan jika peradilan arbitrase itu dilakukan di Indonesia.
Pasalnya, untuk mengeksekusi, putusan arbitrase di dalam negeri langsung disampaikan ke pengadilan negara tempat pihak dari Indonesia berdomisili tanpa melalui prosedur ke Mahkamah Agung dan PN Jakarta Pusat.
Berdasarkan data tahunan Singapore International Arbitration Centre (SIAC), jumlah pihak yang berasal dari Indonesia sejak 2013 dalam perkara yang digelar di peradilan terseut terus menurun. Pada 2013, dari 259 perkara, ada 36 pihak yang berasal dari Indonesia atau sebesar 13,9%.
Dua tahun kemudian, 2015, dari 271 perkara, pihak yang beradal dari Indonesia terdiri dari 24 pihak atau 8,9%. Sementara itu, pada 2017, dari 452 perkara, ada 32 pihak dari Indonesia atau 7,1%.