Bisnis.com, JAKARTA - Dua warga negara yang pernah berurusan dengan polisi mencabut permohonan uji konstitusionalitas norma penghentian penyidikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
“Menetapkan, mengabulkan permohonan penarikan kembali permohonan pemohon,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar Ketetapan MK No. 60/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Permohonan tersebut diajukan oleh Andrias Lutfi Susiyanto dan Evan Waluyo Rostanadji yang mengaku masih berstatus sebagai tersangka ketika memasukkan gugatan pada 4 Oktober.
Mahkamah Kontitusi (MK) sempat menyidangkan pemeriksaan pendahuluan, tetapi para pemohon mencabut gugatan saat sidang perbaikan 11 November.
Dengan pencabutan itu, Andrias dan Evan tidak diperbolehkan lagi menguji materi serupa di MK. Materi KUHAP yang mereka gugat adalah Pasal 109 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Mereka menilai tiga ayat tersebut tidak mencantumkan jangka waktu penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam perkara pidana. Andrias dan Evan mengaku masih berstatus tersangka berdasarkan penetapan penyidik Polri di daerah.
Baca Juga
Pasal 109 ayat (1) berbunyi, ‘Dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.’
Selanjutnya, Pasal 109 ayat (2), ‘Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarganya.’
Sementara itu, Pasal 109 ayat (3) berisi, ‘Dalam hal penghentian tersebut pada ayat (2) dilakukan oleh penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (ayat) 1 huruf b, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum.'
Andrias mendapatkan pemberitahuan sebagai tersangka pada 7 Februari 2018 atau sudah 20 bulan menyandang status tersebut. Adapun, Evan mengalami nasib serupa sejak 19 Desember 2018 atau selama 10 bulan.
Sebelumnya, Muhammad Isrok, kuasa hukum pemohon dari firma hukum M. Isrok dan Rekan, menilai Pasal 109 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) KUHAP tidak memenuhi hak konstitusional kliennya. Menurut dia, ketidakpastian hukum muncul karena ketiadaan jangka waktu tertentu untuk menghentikan penyidikan.
“Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjunjung tinggi supremasi hukum dengan mengedepankan asas legalitas atau kepastian hukum,” ujarnya.
Pemohon meminta tiga ayat tersebut ditafsirkan MK agar berisi kejelasan mengenai batas waktu proses penyidikan. Bila batas waktu berakhir, maka demi hukum penyidikan harus dihentikan atau diterbitkan SP3.
Pemohon tidak mencantumkan permintaan jangka waktu tertentu bagi penyidik untuk mengeluarkan SP3. Terkait dengan jangka waktu, pemohon menyerahkan sepenuhnya kepada MK.
Isrok berharap MK dapat memberikan kepastian hukum serupa ketika menetapkan tempo penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP). Dalam Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015, SPDP wajib disampaikan kepada jaksa penuntut umum, terlapor, dan pelapor paling lama 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan (sprindik).
“Latar belakang adanya putusan tersebut karena Pasal 109 (ayat) 1 KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu pemberitahuan SPDP kepada jaksa penuntut umum, tersangka, korban, sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum dan telah merugikan hak konstitusional pemoh