Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan bahwa kerugian negara dari dugaan korupsi pengadaan ruang terbuka hijau (RTH) di Pemerintah Kota Bandung pada 2012 mencapai Rp69 miliar.
Juru bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa jumlah tersebut berdasarkan hasil audit investigasi dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
"Diduga telah terjadi kerugian keuangan negara sebesar Rp69 miliar dari realisasi anggaran sekitar Rp115 miliar," ujar Febri dalam konferensi pers, Kamis (21/11/2019).
Febri mengatakan bahwa pengadaan lahan diduga dilakukan menggunakan makelar yaitu mantan anggota DPRD Kadar Slamet dan pihak swasta Dadang Suganda yang menjadi tersangka baru di kasus ini.
"Selisih pembayaran riil daerah ke makelar dengan harga tanah atau uang yang diterima oleh pemilik tanah diduga dinikmati oleh sejumlah pihak, termasuk digunakan untuk menyuap hakim," kata Febri.
Komisi antikorupsi pun merasa miris atas praktik korupsi ini yang tujuan awalnya untuk memperbanyak RTH sehingga diharapkan dapat berkontribusi untuk lingkungan dan udara yang sehat di Bandung.
"Akan tetapi, pengadaan RTH ini dijadikan bancakan dan negara dirugikan lebih dari 60 persen nilai proyek yang direalisasikan," tuturnya.
Dalam kasus ini, KPK menetapkan Dadang Suganda selaku wiraswasta sebagai tersangka baru menyusul mantan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemkot Kota Bandung Herry Nurhayat serta mantan anggota DPRD Kota Bandung Tomtom Dabbul Qomar dan Kadar Slamet.
Dadang diduga diperkaya senilai Rp30 miliar di kasus tersebut yang bertindak sebagai makelar pembelian tanah.
Mulanya, Pemkot Bandung pada 2012 mengusulkan pengadaan tanah RTH 2012 sebesar Rp15 miliar untuk 10.000 meter persegi.
Setelah rapat pembahasan dengan Badan Anggaran DPRD Kota Bandung, diduga ada anggota DPRD meminta penambahan anggaran dengan alasan adanya penambahan lokasi untuk Pengadaan RTH.
Adapun besar penambahan anggaran dari yang semula Rp15 miliar menjadi Rp57 miliar untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD Murni) tahun 2012.
KPK menduga penambahan anggaran itu dilakukan karena lokasi lahan yang akan dibebaskan adalah lokasi yang sudah disiapkan dan terlebih dahulu dibeli dari warga sebagai pemilik tanah.
"Upaya ini diduga dilakukan supaya beberapa pihak memperoleh keuntungan," tutur Febri.
Pada September 2012, lanjut Febri, diajukan kembali penambahan anggaran dari Rp57 miliar menjadi Rp123,93 miliar. Namun, total anggaran yang telah direalisasikan adalah Rp115,22 miliar di 7 kecamatan yang terdiri dari 210 bidang tanah.
Dalam proses pengadaan tanah ini, nyatanya Pemkot Bandung tidak membeli langsung dari pemilik tanah, melainkan diduga menggunakan makelar, yaitu Kadar Slamet dan Dadang Suganda.
Dadang memanfaatkan kedekatannya dengan Sekretaris Daerah Kota Bandung saat itu, Edi Siswadi yang terjerat kasus perkara suap terhadap seorang hakim terkait penanganan perkara korupsi bantuan sosial di Pemkot Bandung.
Edi Siswadi pun memerintahkan tersangka Herry Nurhayat untuk membantu Dadang dalam proses pengadaan tanah tersebut yang kemudian ditindaklanjuti Dadang dengan melakukan pembelian tanah pada sejumlah pemilik tanah atau ahli waris di Bandung dengan nilai lebih rendah dari NJOP setempat.
"Setelah tanah tersedia, Pemkot Bandung membayarkan Rp43,65 miliar pada DGS, namun DGS hanya memberikan Rp13,5 miliar pada pemilik tanah sehingga diduga DGS diperkaya sekitar Rp30 miliar," kata Febri.
KPK juga menyebut sebagian dari uang tersebut yaitu sekitar Rp10 miliar diberikan pada Edi Siswadi yang akhirnya digunakan untuk menyuap hakim dalam perkara Bansos di Pengadilan Negeri Kota Bandung.
Atas perbuatannya, Dadang disangkakan melanggar Pasal Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.