Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kemendagri: Suap Justru Marak di Pilkada Langsung

Kementerian Dalam Negeri menyebutkan praktik sogok-menyogok justru marak terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.
Tersangka kasus dugaan suap pengurusan gugatan sengketa pilkada di Kabupaten Lebak, Banten, Amir Hamzah, melambaikan tangan di dalam mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/8). KPK menahan Amir Hamzah yang merupakan calon Bupati Lebak tahun 2013 bersama pasangannya Kasmin terkait kasus sengketa pilkada yang melibatkan Akil Mochtar./Antara-Muhammad Adimaja
Tersangka kasus dugaan suap pengurusan gugatan sengketa pilkada di Kabupaten Lebak, Banten, Amir Hamzah, melambaikan tangan di dalam mobil tahanan seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (18/8). KPK menahan Amir Hamzah yang merupakan calon Bupati Lebak tahun 2013 bersama pasangannya Kasmin terkait kasus sengketa pilkada yang melibatkan Akil Mochtar./Antara-Muhammad Adimaja

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Dalam Negeri menyebutkan praktik sogok-menyogok justru marak terjadi dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung.

Plt Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan awalnya Pilkada langsung jadi opsi lantaran pemilihan lewat DPRD dianggap rawan prakti sogok.

Pasalnya jumlah anggota DPRD tidaklah banyak. Alhasil praktik lobi-lobi di bawah meja sangat mungkin dilakukan.

"Dulu kita pikir dengan pemilihan langsung kan pemilih jutaan orang daerah tertentu tidak mungkin ada calon kepala daerah yang bisa sogok masyarakat," ujarnya di Perpustakaan Nasional, Kamis (21/11/2019).

Nyatanya, kata Bahtiar, dengan dilaksanakan Pilkada langsung praktik sogok justru malah makin masif. Bahkan, tidak hanya puluhan, ribuan hingga jutaan dapat dibeli suaranya.

"Kenyataannya pilkada langsung sogok menyogok tadinya hanya terjadi di level, ini bisa diilakukan ternyata mampu orang sogok satu kabupaten jadi korupsi politik itu terjadi. jadi korupsi politik itu terjadi," katanya.

Dampaknya, kata dia, berujung pada biaya politik mahal. Bahtiar mencontohkan untuk menjadi Kepala Daerah di level kabupaten/kota butuh dana sekitar Rp30 miliar.

Alhasil, kata dia, yang terjadi adalah orang-orang yang kapabel untuk menjadi kepala daerah justru tidak tersaring. Justru para pemodal malah menyiapkan calon-calon yang bisa memuluskan kepentingannya.

"Apalagi maju gubernur, maju gubernur bisa triliunan. akibatnya apa oranng2 baik hebat yang jadi kepala daerah akhirnya apa yang menyipkan kepala daerah itu adalah pengusaha yang punya kepentingan di daerah itu yang menyiapkan adalah gabungan pemodal," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai perlu ada kajian akademis secara mendalam terkait pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung.

Menurut dia pelaksanaan Pilkada langsung harus dievaluasi. Dia mengatakan semua kebijakan publik apalagi menyangkut masyarakat banyak, menyangkut sistem pemilihan, perlu dilakukan evaluasi setelah beberapa lama berlaku.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Sutarno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper