Bisnis.com, JAKARTA - Myanmar menolak penyelidikan International Criminal Court (ICC) atas kasus dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap minoritas Muslim Rohingya Myanmar.
ICC telah menyetujui penyelidikan penuh atas penumpasan militer berdarah pada 2017 terhadap Rohingya. Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari negara bagian Rakhine ke negara tetangga, Bangladesh, akibat kekerasan yang dilakukan militer Myanmar. Para penyelidik PBB mengindikasi adanya niat genosida dalam kekerasan tersebut.
Sementara itu, Myanmar telah berulang kali membela diri bahwa tindakan keras itu diperlukan untuk membasmi gerilyawan. Di sisi lain, Myanmar juga telah lama menolak untuk mengakui otoritas ICC.
"Penyelidikan atas Myanmar oleh ICC tidak sesuai dengan hukum internasional," kata juru bicara pemerintah Zaw Htay, dikutip dari Channel News Asia, Sabtu (16/11/2019).
Zaw Htay menegaskan kembali bahwa komite Myanmar akan menyelidiki setiap pelanggaran dan memastikan pertanggungjawaban jika diperlukan.
"Myanmar dan pemerintah tidak membantah atau menutup mata," katanya.
Baca Juga
Adapun ICC menyatakan meskipun Myanmar bukan anggota ICC, pengadilan memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dugaan kejahatan yang sebagian terjadi di perbatasan Bangladesh itu. Hal ini karena Bangladesh merupakan anggota ICC.
ICC menyatakan para penuntut diberikan izin untuk memeriksa tindakan-tindakan yang dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan yang sistematis terhadap Rohingya, termasuk deportasi, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan penganiayaan dengan alasan etnis dan/atau agama.
ICC adalah pengadilan internasional kedua yang memeriksa dugaan kekejaman terhadap Rohingya, setelah Gambia sebelumnya mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Internasional (ICJ) terhadap Myanmar karena melakukan dugaan genosida terhadap minoritas Muslim. ICJ adalah pengadilan tinggi PBB untuk perselisihan antarnegara.
"Ada dasar yang masuk akal untuk percaya bahwa setidaknya 700.000 orang Rohingya dideportasi dari Myanmar ke Bangladesh melalui berbagai tindakan paksaan, dan bahwa Rohingya mengalami penderitaan besar atau luka serius karena hak mereka untuk kembali dilanggar," kata Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda.
Bensouda bersumpah bahwa pihaknya akan melakukan penyelidikan independen dan tidak memihak.