Bisnis.com, JAKARTA -- Komitmen pemberantasan korupsi menjadi salah satu janji kampanye yang digaungkan Joko Widodo jika dia terpilih menjadi Presiden RI periode 2014-2019.
Jokowi bahkan berjanji memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjalankan tugasnya melakukan pencegahan dan penindakan di lapangan.
Namun, terkadang keinginan acap kali tak sesuai dengan kenyataan. Makin kencang suara untuk memberantas korupsi, makin banyak pula Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh komisi anti rasuah.
Penangkapan yang dilakukan oleh KPK tidak pandang bulu, mulai dari pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kepala daerah dari berbagai provinsi, anggota dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), hingga menteri yang aktif di Kabinet Kerja.
Berdasarkan catatan Bisnis, dua menteri Jokowi yang harus mengundurkan diri karena terkena kasus yaitu Menteri Sosial Idrus Marham dan Menteri Pemuda dan Olah Raga Imam Nahrawi.
Idrus ditetapkan sebagai tersangka atas kasus proyek pembangunan PLTU Riau-1. Adapun Imam dicokok KPK pada akhir masa jabatan lantaran terlibat dalam penyaluran pembiayaan dengan skema bantuan pemerintah melalui Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) dan Komite Olah Raga Nasional Indonesia (KONI) pada 2018.
Baca Juga
Imam Nahrawi memberikan keterangan kepada wartawan terkait penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Widya Chandra III, Jakarta, Rabu (18/9/2019)./ANTARA FOTO-Rivan Awal Lingga
Kasus besar lain yang juga menjadi perhatian publik adalah korupsi proyek KTP Elektronik (KTP-el). Korupsi KTP-el sangat rumit bak jalan cerita opera sabun di televisi.
Proyek pengadaan KTP-el dimulai pada pertengahan Juni 2011. Selang beberapa tahun, KPK menangkap Anggota Badan Anggaran DPR RI Nazaruddin. Politisi Partai Demokrat tersebut mengungkap adanya aliran dana pengadaan KTP-el ke sejumlah elit politik di DPR RI.
Pada 2016, KPK menetapkan dua tersangka, yaitu Sugiharto serta mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman. Kesaksian keduanya menggiring KPK untuk memeriksa beberapa politisi, yaitu Ketua DPR RI Setya Novanto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan anggota Komisi III DPR RI Chairuman Harapan.
KPK lantas menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 17 Juli 2017, yang berisi penetapan Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP-el. Namun, Novanto melawan dengan melakukan praperadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Hakim Cepi Iskandar mengabulkan permohonan praperadilan Novanto sehingga mengakibatkan gugurnya status tersangka.
Namun, penyidik tidak berhenti bergerak. Pada akhir Oktober 2017, KPK kembali mengeluarkan sprindik untuk menjerat Novanto.
Politisi Partai Golkar tersebut sempat berkilah dan berpura-pura mengalami kecelakaan, sampai harus dirawat di rumah sakit. Aksi tersebut gagal total. Setya Novanto ditetapkan bersalah dan majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 15 tahun penjara kepadanya.
Kasus korupsi yang menggegerkan masyarakat juga terjadi saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sedang berlangsung dengan riuh. KPK menangkap anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso melalui OTT.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan secara keseluruhan, uang yang disita dari kantor PT Inersia--perusahaan yang dimiliki Bowo--berjumlah Rp8,45 miliar, terbagi dalam 400.00 amplop, 84 kardus, dan 2 boks kontainer.
KPK menduga Bowo menerima suap dalam kerja sama pengangkutan pelayaran antara PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK) dan PT Pilog yang sebelumnya telah dihentikan. Dalam hal ini, dia turut diduga meminta fee kepada PT HTK atas biaya angkut yang diterima perusahaan itu, sejumlah US$2 per metrik ton.
KPK juga menduga Bowo menerima Rp1,5 miliar dari PT HTK dalam 7 kali penerimaan, termasuk Rp89,4 juta saat terjadi OTT.
Suasana tes uji kompetensi Seleksi Calon Pimpinan KPK di Pusdiklat Kementerian Sekretaris Negara, Cilandak, Jakarta, Kamis (18/7/2019)./ANTARA FOTO-Aprillio Akbar
Polemik Revisi UU KPK
Jelang akhir masa jabatan, anggota DPR RI membuat kejutan bagi pimpinan dan penyidik KPK. Dalam waktu kurang dari satu bulan, anggota dewan sukses membuat KPK terombang-ambing bak kapal di tengah lautan saat terjadi badai.
Drama pertama terjadi saat proses uji kelayakan pimpinan KPK. Suara sumbang datang dari berbagai kalangan lantaran tidak setuju dengan calon pimpinan dari Polri, Irjen Firli Bahuri.
Tetapi, DPR akhirnya memilih Firli sebagai Ketua KPK periode 2019-2024 lantaran sudah mendapat lampu hijau dari Presiden Jokowi.
Pada uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK beberapa waktu lalu, lima orang terpilih selain Firli adalah Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar.
Tak berhenti di situ, eksekutif dan legislatif sepakat untuk merevisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Beberapa perubahan yang berdampak signifikan terhadap kinerja KPK antara lain soal pembentukan Dewan Pengawas, penyadapan, status karyawan KPK, dan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3).
Hal itu membuat gejolak di masyarakat. Ribuan mahasiswa dan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan aksi demo di beberapa provinsi.
Demo di depan gedung DPR RI pada 24-25 September berakhir ricuh, di mana mahasiswa terlibat bentrok dengan polisi. Beberapa mahasiswa dan siswa SMK tercatat meninggal dunia karena bentrokan tersebut.
Mosi tidak percaya pun dilontarkan masyarakat kepada Presiden Jokowi. Mahasiswa dan pegiat anti korupsi mendesak Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Namun, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan rencana penerbitan Perppu tentang KPK justru akan menunjukkan lemahnya kewibawaan Presiden karena menganulir keputusannya sendiri lewat surat presiden (surpres).
"Kan baru saja Presiden teken berlaku [revisi UU KPK], masa langsung Presiden sendiri menarik itu. Di mana kita mau tempatkan kewibawaan pemerintah? Baru meneken berlaku, lalu satu pekan kemudian ditarik lagi. Logikanya di mana?" ucapnya.
JK menilai walaupun Jokowi mengeluarkan Perppu KPK, tak akan menjamin tekanan kepada dirinya akan selesai. JK lebih menyarankan jalur konstitusional lewat gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Kepala Staf Kepresiden Moeldoko (kiri) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menyampaikan keterangan terkait revisi UU KPK di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019)./ANTARA FOTO-Akbar Nugroho Gumay
Menurutnya, salah satu poin penting yang harus ada dalam revisi UU KPK yaitu terkait wewenang mengeluarkan SP3. Pasalnya, anggota dan pimpinan KPK termasuk manusia biasa yang bisa saja keliru dalam mengambil keputusan.
JK lantas memberi contoh kasus mantan Direktur Utama PT Pelabuhan Indonesia II (Persero) RJ Lino yang hingga kini belum bisa dibuktikan.
"Jadi, ini proses biasa dalam hukum, kalau ada keliru ya dikembalikan ke posisinya, jangan berlarut-larut orang digantung. Itulah guna ada SP3 kalau tidak bersalah. Contoh, RJ Lino lima tahun digantung, mau dilepas tidak ada [SP3], mau di yang begitu [vonis] tidak cukup," paparnya.
Adapun KPK enggan menanggapi polemik penerbitan Perppu KPK. Juru bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan akan menunggu keputusan akhir Presiden Jokowi terkait penerbitan Perppu tersebut.
Wacana penerbitan Perppu KPK mencuat setelah Jokowi bertemu dengan 41 tokoh nasional di Istana Negara, Kamis (26/9). Mayoritas tokoh berpendapat penolakan publik terhadap UU KPK hasil revisi bisa menjadi landasan diterbitkannya Perppu.
Lantas, apakah Presiden Jokowi akan menerbitkan Perppu KPK? Tindakan Jokowi sudah pasti berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap negara. Termasuk apakah Jokowi akan dikenang sebagai penyelamat atau pecundang politik.