Bisnis.com, JAKARTA - Akademisi asal Papua mendorong pemerintah pusat mengakomodasi hak masyarakat setempat untuk membentuk partai politik lokal melalui proses legislasi.
Saat ini, Partai Papua Bersatu mengupayakan lahirnya payung hukum partai politik lokal melalui mekanisme uji materi UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (UU Otsus Papua). Selain lewat uji materi, norma partai politik lokal dituangkan dalam RUU Otsus Papua.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Cenderawasih (Uncen) Melkias Hetharia mengharapkan RUU Otsus Papua dapat memperbaharui pelaksanaan otonomi khusus yang berlaku saat ini. Dengan label ‘otsus plus’, masyarakat Papua meminta pemerintah dan DPR membolehkan keberadaan partai politik lokal.
“Pada RUU tersebut dengan diskusi awal Kementerian Dalam Negeri pada 2014, partai politik lokal dipertahankan dalam Pasal 262-274,” ujarnya saat memberikan keterangan dalam sidang pengujian UU Otsus Papua di Jakarta, Rabu (16/10/2019).
Meski demikian, Melkias mengakui bahwa proses legislasi RUU Otsus Papua masih mandek. Calon beleid tersebut digodok di akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, tetapi tidak berlanjut di era Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Melkias mengingatkan bahwa aspirasi mencantumkan norma partai politik lokal bukan wacana baru. Ketika UU Otsus Papua dirancang pada 1999, klausul partai politik lokal sudah dimasukkan.
Namun, pengaturan partai politik lokal dihapus ketika UU Otsus Papua disahkan pada 2001. Bukannya mengatur partai politik lokal, Pasal 28 UU Otsus Papua justru memuat frasa ‘partai politik’.
Merujuk payung hukum partai politik, terakhir dengan UU No. 2/2011 tentang Partai Politik (UU Parpol), ‘partai politik’ dimaknai sebagai organisasi yang bersifat nasional. Padahal, menurut Melkias, tidak terdapat relevansi partai politik nasional diatur dalam UU Otsus Papua yang bersifat lex specialis.
Dengan alasan tersebut, Melkias sepakat bila Mahkamah Konstitusi (MK) menafsirkan frasa ‘partai politik’ dalam Pasal 28 UU Otsus Papua sebagai ‘partai politik lokal’. Keinginan itu serupa dengan Partai Papua Bersatu yang menggugat materi tersebut.
Saat ini, hanya penduduk di Provinsi Aceh yang berhak mendirikan partai politik lokal berdasarkan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Partai politik lokal merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah dengan Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Melkias mengatakan bahwa konsep partai politik lokal lebih dahulu mengemuka di Papua ketimbang di Aceh. Serupa dengan di Serambi Mekkah, Melkias meyakini partai politik lokal dapat menjadi wadah bagi bekas pemberontak bersenjata yang 'telah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi'.
“Alangkah baiknya saudara di hutan turun ke kota dan hidup bersama masyarakat untuk memperjuangkan aspirasi secara konstitusional di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tuturnya.
Melkias memberikan keterangan dalam sidang pemeriksaan perkara pengujian UU Otsus Papua. Permohonan diajukan oleh Partai Papua Bersatu, partai politik lokal di Bumi Cenderawasih.
Pasal 28 UU Otsus Papua mencantumkan hak penduduk Papua untuk membentuk ‘partai politik’ beserta tata cara dan rekrutmennya. Namun, sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dapat melahirkan satu partai politik lokal pun di Papua karena penggunaan frasa ‘partai politik’.
Lantaran keberadaan frasa ‘partai politik’ dalam UU Otsus Papua, PPB tidak bisa ditetapkan sebagai peserta pemilu. Pemohon meminta MK menafsirkan frasa tersebut sebagai ‘partai politik lokal’.