Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonomi global kini sedang goyah. Muncul pertanyaan besar di pasar keuangan, kalangan eksekutif dan sejumlah ekonomi utama.
Investor bersorak pada Jumat (11/10/2019), setelah perundingan dagang Amerika Serikat dan China ditutup dengan perjanjian dagang parsial, bahkan muncul tanda-tanda bahwa Inggris akan mencapai kesepakatan Brexit dengan Uni Eropa.
Namun perdebatan tentang seberapa dekat ekonomi global dengan risiko resesi pertamanya sejak 2009 mungkin akan segera menjadi bahasan utama.
Sejumlah diskusi penting diagendakan pada pekan ini, pertemuan tahunan International Monetary Fund dengan World Bank akan dilaksanakan sepanjang pekan di Washington.
Pelacak produk domestik bruto global Bloomberg Economics menunjukkan laju ekspansi telah melambat menjadi 2,2% pada kuartal ketiga, turun dari 4,7% pada awal 2018.
"Saya melihat adanya risiko serius bahwa perlambatan akan menyebar," ujar bos baru IMF, Kristalina Georgieva, beberapa waktu lalu, dikutip melalui Bloomberg, Minggu (13/10/2019).
IMF diperkirakan memangkas perkiraan pertumbuhan global 2019 dari proyeksi sebelumnya pada kisaran 3,2%, yang merupakan laju terlemah sejak 2009.
Di sisi lain, pedagang obligasi dilanda kekhawatiran, di mana obligasi senilai US$14 triliun memiliki imbal hasil negatif. Sebaliknya, investor ekuitas telah mendorong MSCI World Index naik 14% tahun ini.
Tom Orlik, Kepala Ekonom di Bloomberg Economics, mengatakan banyak yang harus diperbaiki agar dunia terhindari dari perlambatan besar.
Perang dagang, pelemahan manufaktur, isu geopolitik, tekanan pada profit, pengetatan kebijakan moneter, dan pemerintah yang kurang aktif bergerak marupakan sejumlah alasan yang patut diperhatikan untuk menghadapi risiko perlambatan yang meluas.
Tidak diragukan lagi, produsen adalah korban perang dagang terbesar, dan aktivitas global telah mengalami kontraksi selama 5 bulan berturut-turut.
Yang menjadi perhatian khusus adalah sektor mobil yang memberi hambatan untuk ekonomi Jerman dan Jepang yang sangat bergantung dengan ekspor.
Sementara itu, pertumbuhan laba global terhenti pada kuartal kedua, menekan kepercayaan bisnis dan menyebabkan pemotongan dalam pengeluaran modal di seluruh dunia.
"Bahayanya adalah bahwa perusahaan keuntungannya berkurang selanjutnya akan memangkas jumlah tenaga kerja mereka, hingga mengurangi kepercayaan diri konsumen dan minat belanja," seperti dikutip melalui Bloomberg.
Kebijakan moneter mungkin lebih longgar daripada pada awal tahun, tetapi bank sentral kekurangan amunisi dan dalam beberapa kasus mungkin terlalu lambat untuk bertindak.
The Fed telah memangkas suku bunganya sebanyak dua kali sepanjang tahun ini, sementara suku bunga acuan Bank Sentral Eropa dan Jepang sudah berada di titik negatif.
IMF adalah satu di antara lembaga internasional lainnya yang mendesak pemerintah untuk melonggarkan anggaran, tetapi sejumlah tanda menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan bersifat reaktif bukan proaktif.
Di samping hal-hal yang perlu dikhawatirkan, ada kabar baik yang setidaknya dapat menjaga suasana di pasar keuangan tidak begitu tegang.
Sebuah model yang dibuat oleh Bloomberg Economies memperkirakan peluang resesi AS tahun depan hanya 25%. Jika ekonomi Amerika tetap mampu berdiri tegak, mereka akan menjadi penopang bagi masalah di tempat lain.
AS juga merupakan perekonomian yang lebih tertutup daripada yang lain, artinya mereka dapat melanjutkan ekspansi bahkan jika perdagangan global terpukul.
Dari segi moneter, The Fed telah memangkas suku bunganya dan ada kemungkinan penurunan lanjutan bulan ini. ECB dan BOJ juga telah mengeluarkan beberapa program stimulus untuk menopang ekonomi.
Selain itu, bank sentral lain di India, Australia, Korea Selatan, Afrika Selatan dan Brasil juga telah mengurangi suku bunga acuan mereka. Meskipun butuh waktu untuk memperlihatkan efeknya, kebijakan moneter akan tetap memberikan dukungan pertumbuhan.