Bisnis.com, JAKARTA--Setiap Kamis di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta, sekelompok orang berpakaian serba hitam melangsung demonstrasi dalam diam. Suara mereka tentang hak asasi manusia (HAM) diwakili kata-kata di atas spanduk, poster, dan payung hitam.
Orang-orang menyebutnya aksi kamisan, yang kini berusia 12 tahun, dipelopori Marina Katarina Sumarsih (66), ibunda Bernardinus Realino Norma Irmawan yang menjadi korban Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.
Konsistensi Sumarsih dan kawan-kawannya untuk bersuara dalam damai dan tanpa kekerasan, menjadikan aksi ini bernapas panjang.
Dua pekan lalu, saat huru-hara demonstrasi oleh aktivis dan mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia, Sumarsih tetap berada diantara kerumunan massa kamisan. Belakangan diketahui, demonstrasi yang berujug ricuh menelan korban nyawa.
Sayangnya, meski nyawa sudah jadi taruhan, saat ini tuntutan yang diteriakkan saat demonstrasi yang berpusat di Gedung Senayan, Jakarta itu, seolah sudah kehilangan gaungnya, baik di jalanan maupun di media sosial.
Dari perspektif psikologi sosial, demonstrasi termasuk salah satu tindakan kolektif. Partisipasi individu dalam sebuah tindakan kolektif adalah output dari minimal 3 hal, yakni kedekatan terhadap isu, adanya persepsi ketidakadilan yang menimbulkan rasa marah, serta timbul keyakinan aksi akan membuahkan hasil.
Baca Juga
Namun demikian, jika persepsi atas ketidakadilan semakin menguat, diikuti dengan rasa marah, dan keyakinan akan keberhasilan suatu aksi rendah, maka justru kekerasanlah yang akan timbul.
Kandidat PhD di Social Psychology, The University of Queensland, Australia, Susilo Wibisono menjelaskan, dalam kaitannya dengan demonstrasi, penggunaan kekerasan bisa jadi merupakan bagian dari strategi untuk mencapai tujuan.
"Namun tentu saja hal ini bukan hal yang diinginkan bersama," katanya.
Menurutnya, hal yang selalu disadari oleh para aktivis adalah mereka memerlukan dukungan publik, yang hanya bisa diraih dengan metode yang sistematis atau yang cenderung menekankan pada sisi emosi.
Lantas apa yang dapat mengarahkan sebuah demonstrasi menjadi kekerasan? Di luar kambing hitam yang bernama provokator, pihak-pihak yang memiliki identifikasi rendah terhadap suatu isu justru sebenarnya lebih berpeluang untuk melakukan kekerasan.
Sebagai ilustrasi misalnya, suatu demontsrasi dilakukan oleh kelompok mahasiswa. Bayangkan seandainya kelompok mahasiswa ini kemudian mencapai kesepakatan dengan otoritas atau pemerintah terhadap suatu isu. Namun kemudian ada sebagian dari kelompok ini yang tidak setuju dengan kesepakatan tersebut. Lalu lahirlah kelompok sempalan.
"Nah aksi yang dilakukan oleh kelompok sempalan ini, secara psikologis akan cenderung lebih keras," jelasnya.
Selain aksi kamisan yang dimotori Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), salah satu lembaga nonprofit yang juga memiliki prinsip aksi tanpa kekerasan yakni Greenpeace, sebuah lembaga swadaya berjaringan internasional yang fokus pada isu lingkungan.
Eji Anugrah Romadhon, Action Coordinator Greenpeace Southeast Asia menjelaskan, aksi dengan kekerasan terbukti dengan mudah dipatahkan dan tidak berumur panjang. Sebaliknya, orang-orang di belakang aksi damai akan memiliki energi lebih banyak untuk memanjangkan napas demontrasi.
Dia mencontohkan, aksi mahasiswa pada 23 hingga 24 September 2019 lalu, jika bersih dari kekerasan, massa bisa menarik simpati dan minat bergabung banyak orang termasuk anak-anak dan lansia.
"Kalau terlatih dan mampu menggunakan nonviolent communication bisa saja tidak menggunakan gas air mata. Jadi hanya duduk, tidak melawan, negosisasi, dan sebagainya," jelasnya.
Dia melanjutkan, ketika aparat bertindak represif, massa harus datang dengan persiapan matang sebelumnya. Ada taktik individu dan kelompok yang dijalankan untuk bertahan ketika muncul tindakan represif.
"Aksi itu sebenarnya sehat, lebih sehat lagi kalau semua warga negara, bukan hanya mahasiswa dan aktivis bisa memenangkan simpati karena moralnya betul dan yang dituntut betul," katanya.