Bisnis.com, JAKARTA – Apes nian nasib Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil.
Kemarin, Rabu (25/9), Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Rizal sebagai tersangka kasus dugaan suap proyek pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun Anggaran 2017-2018.
Penetapan tersangka bertepatan dengan pemilihan anggota BPK periode 2019-2024 di Komisi XI DPR yang berlangsung hari ini di Senayan. Sebanyak lima anggota BPK telah dipilih oleh wakil rakyat, salah satunya untuk menggantikan Rizal yang sudah dua periode bercokol di lembaga auditor negara itu.
Rizal sebenarnya berniat mencalonkan diri kembali dalam pemilihan anggota BPK periode 2019-2024. Namun, dia terganjal dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) yang mengatur perpanjangan masa menjabat anggota BPK hanya ‘untuk satu kali masa jabatan’. Adapun, satu kali masa jabatan anggota BPK adalah 5 tahun sehingga maksimal menduduki kursi tersebut selama 10 tahun atau dua periode.
Pada 2 Januari 2019, Rizal memasukkan permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 5 ayat (1) UU BPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rizal meminta MK menghapus perpanjangan 'untuk satu kali masa jabatan' sehingga pemohon dapat mendaftar sebagai calon anggota BPK untuk periode ketiga.
Mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut beralasan masih berusia 63 tahun atau di bawah usia pensiun 67 tahun yang seharusnya dibolehkan menjabat untuk periode ketiga. Rizal juga mengklaim kemampuan dan pengalamannya masih dibutuhkan negara bila menjadi anggota BPK satu periode lagi.
Dia mencontohkan kala menjadi anggota DPR Fraksi PAN periode 1999-2009 banyak terlibat dalam legislasi dan pengawasan di bidang keuangan.
Namun, permintaan Djalil tersebut ditolak oleh MK. Salah satu alasan penolakan MK memperpanjang masa jabatan anggota BPK lebih dari dua periode adalah untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan di lembaga auditor negara itu.
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menjelaskan anggota BPK bukan jabatan politik. Jika asumsi jabatan politik itu dipakai maka produk BPK berpotensi menjadi produk politik yang didasari dengan pertimbangan politik.
Selain itu, tambah Palguna, BPK tidak bisa dipersamakan dengan DPR yang masa jabatan anggotanya tidak dibatasi. Meskipun pengambilan keputusan di BPK dilakukan secara kolektif-kolegial, bukan berarti pembatasan masa jabatan anggotanya tidak boleh dilakukan dalam rangka mencegah penyalahgunaan kewenangan.
"Lagipula, UUD 1945 menganut prinsip pembatasan masa jabatan," katanya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 3/PUU-XVII/2019 di Jakarta, Senin (20/5/2019).