Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Selama masa penundaan, para penyusun UU akan mendalami kembali sejumlah pasal kontroversial dalam beleid tersebut. Salah satu materi yang mengundang pro-kontra adalah pemidanaan terhadap penyerang kehormatan dan martabat presiden atau wakil presiden (wapres).
Dalam draf RKUHP versi 15 September 2019 yang diperoleh Bisnis.com, pemidanaan terhadap penghina penguasa negeri ini tercantum dalam RKUHP Buku Kedua Bab II mengenai "Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden".
Bab II meliputi Pasal 217-Pasal 220. Bagian kesatu mencakup Pasal 217 yakni "Penyerangan terhadap Presiden dan Wakil Presiden".
Adapun bagian kontroversial terdapat pada bagian kedua mengenai "Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden", yang meliputi Pasal 218-Pasal 220.
Presiden Joko Widodo ./ANTARA FOTO-Akbar Nugroho Gumay
Baca Juga
Pasal 218 ayat (1) berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."
Pasal 218 ayat (2) mencantumkan, "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Definisi kehormatan atau harkat dan martabat RI-1 dan RI-2 termaktub dalam bagian Penjelasan. Isinya adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan "menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri" pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum, termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan mengajukan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.
Penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela (dilihat dari berbagai aspek: moral, agama, nilai-nilai kemasyarakatan dan nilai-nilai HAM/kemanusiaan), karena "menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan" (menyerang nilai universal); oleh karena itu, secara teoritik dipandang sebagai rechtsdelict, intrinsically wrong, mala per se dan oleh karena itu pula dilarang (dikriminalisir) di berbagai negara.
Sementara itu, Pasal 219 mencantumkan pidana bagi pelaku penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat melalui medium komunikasi. Adapun Pasal 220 menegaskan pemidanaan penghina presiden atau wapres sebagai delik aduan. (lihat tabel).
Pasal Penghinaan Presiden | |
Warisan Kolonial | Era Presiden Joko Widodo (draf) |
Pasal 134: Penghinaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap Presiden dan Wakil Presiden diancam dengan pidana paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500. | Pasal 217: Setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun. |
Pasal 136 bis: Dalam pengertian penghinaan tersebut Pasal 134, termasuk juga perbuatan tersebut Pasal 315, jika hal di luar adanya yang terkena, baik dengan tingkah laku di muka umum, maupun tidak di muka umum dengan perbuatan, lisan, lisan atau tulisan, asal di muka lebih dari empat orang, atau di muka orang ketiga yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya dan merasa tersinggung karenanya. | Pasal 218 Ayat (1): Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. |
Pasal 137 Ayat (1): Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan di muka umum tulisan atau lukisan yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden, dengan maksud supaya isi yang menghina diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500. | Pasal 218 Ayat (2): Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. |
Pasal 137 Ayat (2): Jika yang bersalah melakukan kejahatan pada waktu menjalankan pencariannya, dan pada saat itu belum lewat 2 tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut. | Pasal 219: Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV. |
Pasal 220 Ayat (1): Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hana dapat dituntut berdasarkan aduan. | |
Pasal 220 Ayat (2): Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden. |
Sumber: KUHP, Putusan MK, RKUHP
Sejarah
Embrio delik penghinaan presiden dan wapres sebenarnya berasal dari KUHP, yakni Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137. Namun, sejak 6 Desember 2006, tiga pasal tersebut tidak lagi berlaku karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.
MK sependapat dengan argumentasi pemohon Eggi Sudjana bahwa materi-materi tersebut menghalangi kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat. Setelah dibatalkan MK, penghinaan presiden dan wapres selaku pejabat bersifat delik aduan dengan mengacu pada Pasal 207 KUHP.
Dikutip dari pertimbangan hukum putusan MK, Pasal 134 KUHP sebagai inti dari delik penghinaan presiden berasal dari Artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederlands 1881) alias KUHP Belanda. Kandungannya mengatur tentang opzettelijke beleediging den koning of der koningin atau penghinaan yang disengaja untuk raja dan ratu Belanda dengan ancaman hukuman penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak 300 gulden.
Sejak 15 Oktober 1915, pasal penghinaan diadopsi KUHP Hindia Belanda (WvS Nederlands Indie) dan mengikat per 1 Januari 1918.
Ketua Tim Perumus RUU KUHP Muladi (tengah) didampingi anggota menyampaikan keterangan kepada wartawan seusai bertemu Presiden Joko Widodo di kantor Presiden, Jakarta, Rabu (7/3/2018)./ANTARA FOTO-Puspa Perwitasari
Sedikit berbeda dari KUHP Belanda, Pasal 134 KUHP Hindia Belanda menyematkan hukuman penjara bagi penghina raja dan ratu Belanda selama 6 tahun atau denda 300 gulden. Hukuman berlaku pula bagi penghina gubernur jenderal Hindia Belanda selaku wakil penguasa monarki Belanda di Nusantara.
Setelah Indonesia merdeka, KUHP Hindia Belanda berubah menjadi KUHP Indonesia. Terminologi raja dan ratu Belanda bersalin rupa menjadi presiden dan wapres.
Kontroversi
Setelah dibatalkan MK, delik penghinaan presiden dan wapres diniatkan pembentuk UU masuk kembali dalam KUHP "buatan Indonesia". Sejak draf RKUHP versi 21 Januari 2015, materi tersebut sudah tercantum dalam Pasal 263-Pasal 265.
Malah, dalam draf versi 21 Januari 2015, penghinaan presiden dan wapres masih bersifat delik biasa, bukan delik aduan. Setelah diperbaharui hingga terakhir pada 15 September 2019, redaksional materi tersebut diperbaiki plus penambahan pasal penegas delik aduan.
Bab II mengenai "Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden" memancing pro dan kontra di tengah masyarakat, terlebih Pasal 218. Kendati berupa delik aduan, aktivis pro demokrasi menolak pasal penghinaan presiden dan wapres masuk dalam KUHP.
Mahasiswa dari sejumlah elemen mahasiswa se-Jabodetabek berunjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (23/9/2019)./Aksi mahasiswa itu unruk menolak UU KPK dan pengesahan RUU KUHP./ANTARA FOTO-M Risyal Hidayat
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpandangan unsur subjektif masih dimungkinkan ketika penyidik menentukan terpenuhi atau tidaknya unsur perbuatan pidana. Bukan mustahil ahli yang dipanggil untuk menilai cenderung memenuhi selera penguasa.
“Ahli dalam banyak hal kan berbeda-beda. Setiap orang oposisi pasti tidak diambil sebagai ahli oleh pemerintah saat itu,” katanya di Jakarta, akhir pekan lalu.
Sebaliknya, Dekan Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (Ubhara Jaya) Slamet Pribadi berpendapat presiden dan wapres tetap perlu dijaga kehormatannya. Dia meyakini penyidik tidak akan menggunakan pasal tersebut untuk menjerat para pengkritik pemerintah.
“Kritis boleh, marah boleh. Yang tidak boleh menghina presiden [dan wapres], apalagi kalau masuk ranah pribadi,” tutur Slamet.