Bisnis.com, JAKARTA - Komisi III DPR menggulirkan wacana untuk membuat kontrak politik kepada kesepuluh calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menjalankan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper tes) di DPR.
Kontrak politik di atas materai dibuat dengan maksud agar nantinya lima pimpinan KPK terpilih dapat menjalankan tugas sesuai dengan isi perjanjian kontrak politik tersebut. Alasannya, Komisi III menuding bahwa pimpinan KPK kerap kali berbeda sikap saat sebelum dan setelah menjadi pimpinan.
Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif menentang keras dengan wacana kontrak politik itu. Kendati tidak akan memimpin kembali lembaga antirasuah, namun adanya kontrak semacam itu dinilai hanyalah akan mewakili pihak-pihak tertentu.
"Menurut saya, kami di KPK mengatakan bahwa untuk menjadi aparat penegak hukum itu tidak boleh diikat dengan komitmen politik," kata Laode, Selasa (10/9/2019).
Bila benar-benar terwujud, maka pimpinan KPK periode 2019-2023 adalah yang pertama dengan adanya perjanjian di atas kertas tersebut. Laode menilai jika DPR menetapkan komitmen semacam itu, maka dikhawatirkan tidak akan loyal pada penegakan hukum.
"Jangan-jangan dia [pimpinan] akan loyal kepada 'pemimpin politiknya,' bukan dia loyal kepada penegakan hukum yang menjadi tujuan utama dari aparat penegak hukum itu bekerja," katanya.
Baca Juga
Terpisah, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch Donal Fariz mengaku adanya wacana kontrak politik terhadap capim KPK di test and proper test dinilai merupakan tindakan ilegal dan politis.
"KPK itu lembaga penegak hukum, kok malah dibuat kontrak politik?," kata dia.
Dia menyatakan bahwa Komisi III DPR dianggap telah menyalahi fungsi dan tujuan fit and proper test tersebut.
Direktur Indonesia Political Review (IPR) Ujang Komarudin juga menyatakan tak perlu ada kontrak politik mengingat nantinya pimpinan KPK ke depan akan ragu untuk menangkap anggota DPR yang terlibat korupsi, seiring dengan adanya kontrak politik tersebut.
"Kontrak politik sama saja dengan deal-deal-an antara capim KPK dengan Komisi III DPR," paparnya.
Ujang menilai bahwa pernyataan Komisi III soal perbedaan sikap pimpinan KPK dalam saat sebelum dan sudah terpilih hanyalah tudingan semata. Adanya kontrak politik juga menjadi dugaan soal ketakutan DPR terhadap KPK.
"Bahwa inikan soal ketakutan oknum anggota DPR yang suka main anggaran APBN. Jadi sekali lagi, tak perlu kontrak politik."
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai wacana kontrak politik dianggap sebagai penyanderaan aparat penegak hukum.
Selain itu, lanjut dia, juga merupakan intervensi yang dinilai mengacaukan sistem penegakan hukum di Indonesia. Kontrak politik tersebut juga dinilai tidak akan mengikat secara hukum.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani dalam keterangannya mengaku kontrak politik dibuat agar para capim bisa bersikap konsisten, baik saat uji kelayakan dan kepatutan dan ketika menjabat sebagai pimpinan KPK.
"Itu menjadi semacam quote unquote kontrak politik antara calon dengan DPR kalau dia terpilih nantinya,” ujar Arsul dalam keterangan resmi dikutip Selasa.
Menurutnya, sikap Capim KPK disebut bisa berbeda karena saat menjabat komisioner KPK kerap kali terpengaruh dengan tekanan publik dan popularitas. Padahal, kata dia, tekanan publik mayoritas belum tentu menjadi kebenaran.
Hal itu juga berlaku pada sikap capim tentang revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apakah nantinya sikap itu sesuai dengan saat menjalankan tes di DPR dan saat sudah terpilih nanti.