Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan kalau Presiden Joko Widodo atau Jokowi memahami Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan maka ia tidak akan mendukung revisi UU KPK yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alasannya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) ini dianggap cacat formal.
"Kalau presiden tahu, maka presiden tidak boleh melegalisasikan apa yang sudah dicanangkan oleh kelompok parpol di DPR," kata Feri di Restoran Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta, Minggu (8/9/2019).
Menurut Feri, Presiden Jokowi seharusnya menjadi alternatif aspirasi publik dalam menolak revisi UU KPK. Ia meminta Jokowi menyatakan ketegasannya.
"Selama ini presiden selalu swing, ya, tidak jelas sikapnya dalam hal ini," tuturnya.
Feri menjelaskan revisi KPK sejak awal tidak memenuhi prosedur yang ditentukan UU Nomor 12 tahun 2011. Alasannya revisi UU KPK tidak ada dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas, namun tiba-tiba mencuat untuk diselesaikan.
"Jadi secara formal pembentukannya cacat prosedural," ucapnya.
Revisi UU KPK kembali mencuat di penghujung masa jabatan DPR periode 2014-2019. Rapat paripurna DPR RI yang berlangsung Kamis kemarin memutuskan revisi UU KPK menjadi usul inisiatif DPR.
Sejumlah pihak menilai revisi ini berpotensi melemahkan KPK. Ada enam poin krusial yang disepakati dalam revisi UU KPK.
Salah satunya adalah kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Sedangkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan perundang-undangan.