Kabar24.com, JAKARTA — Transparency International Indonesia (TII) memandang revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanyalah sebagai upaya sistematis untuk melemahkan lembaga itu.
Rencana revisi UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disepakati sebagai RUU atas usulan inisiatif DPR untuk kemudian akan dibahas bersama pemerintah, di Gedung Parlemen pada Kamis (5/9/2019).
Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko mengatakan bahwa kesepakatan ini dinilai memperlihatkan adanya upaya pelemahan kelembagaan KPK secara sistematis, terlebih di ujung masa bakti DPR periode 2014—2019.
TII pun menyarankan agar Presiden Joko Widodo menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres).
"Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK ini dan sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan Presiden ke DPR," paparnya, Jumat (6/9/2019).
Menurut Dadang, situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016, pemerintah menurutnya tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan juga tidak melakukan sosialisasi kepada publik.
Tak hanya itu, TII juga meminta agar DPR segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati tersebut, terlebih poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini.
Dia mengatakan hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif.
"Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia," kata dia.
Di sisi lain, minimnya komitmen politik pemerintah dan badan legislatif dalam memastikan independensi merupakan masalah utama mayoritas lembaga antikorupsi dimanapun termasuk KPK.
Padahal, berdasarkan Pasal 6 Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) telah ditegaskan bahwa lembaga antikorupsi harus dilengkapi dengan independensi yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya secara efektif dan bebas dari pengaruh yang tidak semestinya serta sumber daya material, staf, dan pelatihan yang memadai.
Dadang berujar, syarat tersebut seharusnya dapat dilaksanakan mengingat Indonesia telah menjadi Negara Pihak pada UNCAC sejak ratifikasi pada 18 Desember 2003.
"Rendahnya komitmen ini juga diperlihatkan dari buruknya kepatuhan pelaksanaan rekomendasi UNCAC, di mana hingga saat ini Indonesia baru menyelesaikan 8 dari 32 rekomendasi yang disarankan," ujarnya.