Bisnis.com, JAKARTA – Ketegangan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China memasuki episode baru. Terhitung mulai Minggu, 1 September 2019, kedua belah pihak saling melancarkan tarif terhadap barang impor masing-masing.
Pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan tarif 15 persen terhadap impor China senilai sekitar US$110 miliar. Tarif tersebut berdampak pada barang-barang konsumen mulai dari alas kaki dan pakaian jadi hingga tekstil dan produk teknologi tertentu seperti Apple Watch.
Setelah ini, pemerintah AS telah berencana mengenakan tarif lebih lanjut sebesar 15 persen terhadap barang-barang China senilai sekitar US$160 miliar, termasuk laptop dan ponsel, pada 15 Desember.
Tak mau kalah, China dikabarkan mulai mengenakan tarif tambahan pada sejumlah barang asal AS senilai US$75 miliar. Namun Beijing tidak memerinci nilai barang yang dikenakan lebih tinggi mulai 1 September.
Tarif tambahan 5 persen dan 10 persen dikenakan pada 1.717 item dari total 5.078 produk yang berasal dari Amerika Serikat. Beijing akan mulai meraup tarif tarif tambahan untuk sisanya mulai 15 Desember mendatang.
Meski langkah-langkah ini telah diantisipasi, pasar tetap meresponsnya dengan negatif. Investor bergegas memburu aset perlindungan seperti yen saat pasar mata uang dibuka pada perdagangan awal pekan ini, Senin (2/9/2019).
Baca Juga
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar yen Jepang menguat 0,3 persen terhadap dolar AS. Adapun dolar Selandia Baru melemah 0,5 persen, kinerja terburuk di antara mata uang negara G-10. Sementara itu, nilai tukar yuan offshore terdepresiasi 0,15 persen menjadi 7,1732 per dolar AS.
Selain itu, indeks futures ekuitas AS dan Jepang turun di awal perdagangan Asia. Indeks futures S&P 500 dibuka 1 persen lebih rendah sebelum mampu mengurangi sebagian penurunannya.
Kendati pemerintahan Trump telah menepis kekhawatiran tentang perang dagang yang berkepanjangan, kelompok-kelompok bisnis menyerukan agar kedua negara berupaya melakukan gencatan senjata tarif dan memulai kembali negosiasi perdagangan.
Kepada awak media pada Minggu (1/9), Trump mengatakan rencana tatap muka antara tim negosiator perdagangan China dan AS yang dijadwalkan berlangsung pada bulan ini masih berlaku.
“Kami sedang berbicara dengan China, pertemuan masih sesuai jadwal,” ujar Trump, sebagaimana diberitakan Bloomberg. Ia menegaskan pernyataan bahwa China-lah yang mengalami kerugian atas pengenaan tarif.
“Kita tidak bisa membiarkan China merobek kita lagi,” tambah Trump.
Di sisi lain, China telah berulang kali mengecam taktik tekanan AS, dengan tanda-tanda bahwa para pejabatnya siap menghadapi konfrontasi yang berkepanjangan.
"Tekad China untuk memerangi perang ekonomi AS hanya telah tumbuh lebih kuat, dan penanggulangannya lebih tegas, terukur, dan memiliki tarhet,” menurut kolom komentar oleh kantor berita resmi Xinhua News Agency pascapengenaan tarif tersebut.
“Satu hal yang pria-pria di Gedung Putih harus pelajari adalah bahwa ekonomi China kuat dan cukup tangguh untuk melawan tekanan yang ditimbulkan oleh perang perdagangan yang sedang berlangsung,” lanjutnya.
Meski Trump telah berulang kali mengatakan bahwa China yang membayar atas tarif yang diberlakukan AS, banyak perusahaan dan ekonom mengatakan bahwa justru importir AS yang menanggung biayanya dan beberapa di antaranya diteruskan kepada konsumen.
Gary Shapiro, Presiden Consumer Technology Association, mengatakan pendekatan pemerintah Trump menggunakan tarif untuk menekan China untuk mendapatkan suatu kesepakatan telah menjadi bumerang.
“Perusahaan-perusahaan AS harus menghabiskan lebih banyak sumber daya untuk terus-menerus mengubah aturan perdagangan dan melakukan lebih sedikit untuk inovasi, produk baru dan kesehatan ekonomi kita,” tutur Shapiro.
Sementara itu, Richard Trumka, Presiden federasi serikat pekerja AFL-CIO, mengatakan kepada “Fox News Sunday” bahwa terlepas dari tindakan tegas untuk China, Presiden Trump telah “melakukannya dengan cara yang salah” melalui strategi tarifnya.
“Harus ada pendekatan multilateral ketika mengambil tindakan untuk praktik-praktik perdagangan China,” ujar Trumka. AFL-CIO adalah federasi serikat pekerja terbesar di AS.
“Langkah ini harus mengatasi penyeimbangan kembali mata uang, memiliki kecenderungan jangka panjang untuk pekerjaan yang baik di negara ini. Sayangnya, itu bukan pendekatannya. Kami berharap ini menjadi pendekatan tetapi belum,” tambahnya.