Bisnis.com, JAKARTA - Produsen obat asal Amerika Serikat, Johnson & Johnson (J&J) diperintahkan membayar ganti rugi sebesar US$572 juta atau sekitar Rp8,1 triliun, atas keterlibatannya dalam krisis kecanduan zat opioid di Oklahoma.
Usai putusan dibacakan di persidangan, pihak perusahaan mengatakan akan segera mengajukan banding.
Kasus tersebut merupakan pertama dibawa ke meja hijau dari ribuan tuntutan hukum yang diajukan terhadap produsen dan distributor opioid.
Awal tahun ini, pengadilan Oklahoma sepakat dengan produsen obat OxyContin Purdue Pharma agar perusahaan itu membayar ganti rugi US$270 juta, atau sekitar Rp3,8 triliun.
Demikian juga dengan Teva Pharmaceutical sebesar US$85 juta, atau sekitar Rp1,2 triliun sehingga Johnson & Johnson sebagai satu-satunya terdakwa.
Hakim Thad Balkman mengatakan bahwa jaksa penuntut telah menunjukkan bahwa perusahaan tersebut berkontribusi pada "gangguan publik" dalam promosi penipuan obat penghilang rasa sakit yang sangat membuat ketagihan.
"Tindakan-tindakan itu membahayakan kesehatan dan keselamatan ribuan warga Oklahoma. Krisis opioid adalah bahaya dan ancaman bagi warga Oklahoma," ujarnya dalam putusannya aeperti dikutip BBC.com, Selasa (27/8/2019).
Hasil dari kasus tersebut kini sedang diawasi ketat oleh para penggugat. Setidaknya ada 2.000 tuntutan hukum kasus opioid yang disidangkan di Ohio pada Oktober mendatang, kecuali para pihak dapat mencapai kesepakatan.
Opioid berkontribusi pada 400.000 kematian akibat overdosis sejak 1999 hingga 2017, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS.
Sejak 2000, sekitar 6.000 di Oklahoma telah meninggal akibat overdosis opioid, menurut pengacara untuk negara.
Akan tetapi J&J dengan tegas membantah melakukan kesalahan, dengan alasan bahwa klaim pemasarannya memiliki dukungan ilmiah dan obat penghilang rasa sakitnya, Duragesic dan Nucynta, merupakan sebagian kecil dari opioid yang diresepkan di Oklahoma.
Perusahaan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa sejak 2008, obat penghilang rasa sakitnya menyumbang kurang dari 1% dari pasar AS, termasuk obat generik.