Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau KLHK menunjukkan sinyal akan tetap menggugat tiga perusahaan minyak Thailand ke ranah litigasi atas dugaan tumpahan minyak Montara.
Adapun perusahaan tersebut adalah, The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Australasia (PTTEP AA), The Petroleum Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP) dan The Petroleum Authority of Thailand Public Company Limited (PTT PCL).
Pasalnya, kementerian di bawah komando Siti Nurbaya itu menyatakan, tidak akan mundur menghadapi ketiga perusahaan tersebut kendati gugatan sebelumnya dengan objek hukum yang sama dicabut KLHK.
“Masih dalam proses penyusunan gugatan, [gugatan] masih kami lanjutkan. Tidak [tergugat tetap ada tiga],” kata Jasmin kepada Bisnis, Selasa (20/8).
Keinginan KLHK untuk menggugat PTTEP AA tersebut juga seiring dengan pernyataan pemerintah Indonesia yang menegaskan tidak ada penyelesaian kasus Montara di luar pengadilan karena belum adanya kesepakatan ganti rugi dari PTTEP Australasia.
Dari catatan Bisnis, Purbaya Yudhi Sadewa, Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritimanan (Kemenko Maritim) menyampaikan pasca pertemuan antara Menko Maritim Luhut B. Panjaitan dengan Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-O-Cha tahun lalu.
Ganti Rugi
Purbaya menyatakan, perwakilan PTTEP bertandang ke Indonesia untuk membicarakan kemungkinan penyelesaian di luar pengadilan. Dalam pertemuan itu, PTTEP hanya menyanggupi untuk memberikan ganti rugi sebesar US$5 juta.
Untuk diketahui, KLHK pernah menggugat perusahaan-perusahaan minyak dari negeri Gajah Putih atas terjadinya ledakan minyak di unit pengoboran West Atlas di ladang Montara.
Akibat ledakan tersebut, minyak mentah bocor sepanjang perairan Australia dan limbahnya menyebar ke perairan Nusa Tenggar Timur, Indonesia pada 29 Agustus 2009 hingga 3 November 2009.
Namun, KLHK mencabut gugatan terhadap ketiga perusahaan tersebut untuk memperbaiki pokok perkara gugatan termasuk nama-nama dari para tergugat.
KLHK melayangkan gugatan terhadap PTTEP AA, PTTEP dan PTT PCL dengan perkara No. 241/Pdt.G/2017/PN .Jkt.Pst pada 3 Mei 2017.
Kerusakan Hutan Mangrove
Dalam tuntutannya, KLHK meminta pengadilan agar para tergugat membayar ganti rugi materiel senilai Rp23,01 triliun mencakup ganti rugi kerusakan hutan mangrove sebanyak Rp4,55 triliun, kerusakan padang lamun senilai Rp1,15 triliun dan kerugian kerusakan terumbu karang senilai Rp17,30 triliun.
Gugatan ganti rugi lainnya total senilai Rp4,46 triliun meliputi, biaya pemulihan kerusakan hutan mangrove sebanyak Rp107,94 miliar, pemulihan kerusakan padang lamun Rp126,73 miliar, pemulihan kerusakan terumbuh karang Rp194,05 miliar dan biaya bioremediasi (clean up) Rp4,03 triliun.
Dari catatan Bisnis, KLHK melalui tim risetnya menemukan ada gumpalan minyak di perairan Pulau Rote, NTT yang terkena imbas tumpahan minyak Montara yang dijalankan oleh PTTEP AA.
Dampaknya, dari penelitian KLHK saat gugatan itu diajukan ke pengadilan masih banyak gumpalan minyak selama 7 tahun dan menyebar di 13 kabupaten di NTT.
Namun demikian, KLHK dalam perjalanan waktu mencabut gugatannya tersebut pada 6 Februari 2018 dan pada hari itu juga, pengadilan memerintahkan panitera untuk mencoret perkara gugatan.
Harus Teliti
Saat dihubungi Bisnis, kuasa hukum PTT PTT PCL mengatakan, jangan sampai KLHK salah dalam menggugat lagi terkait dengan badan hukum para tergugat.
“Ya, kami akan hadapi lagi KLHK, kalau ada rencana gugatan. Kalau kami selalu siap, tetapi KLHK harus teliti gugatan itu untuk siap, operating company siapa. Jangan nanti menggugat, badan hukumnya kurang sah," ujar Andi.
Dia mengutarakan pula, penyelesaian tidak harus melalui jalur pengadilan atau bisa di luar pengadilan.
Menurutnya, pemerintah Indonesia dan Thailand bisa duduk bersama dalam menyelesaikan persoalan tumpahan minyak di Montara tanpa harus di pengadilan.
“Penyelesaian terbaik ya di luar pengadilan, atau gugatan tidak harus di Indonesia. Bisa di Australia, tergantung yuridiksi mana untuk menyelesaikannya itu,” ujar dia.