Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2019—2024 akan dilantik awal Oktober ini. Sementara itu, pengisian kursi pimpinan baik itu Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat masih dalam pembahasan.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) nomor 2/2018 tentang perubahan atas UU nomor 7/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau UU MD3, posisi pimpinan DPR sudah ditentukan sesuai perolehan kursi terbanyak.
Pasal 427D ayat 1 menyebutkan pimpinan terdiri atas satu ketua dan empat wakil. Posisi ketua diisi oleh partai dengan suara terbanyak di pemilu. Sementara wakilnya untuk suara kedua hingga kelima.
Dengan rumusan seperti itu maka ketua DPR ditempati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang juga mengusung Presiden Joko Widodo.
Lantas, bagaimana dengan pimpinan MPR?
Pasal 15 UU MD3 menyebutkan bahwa pimpinan MPR dipilih dalam satu paket yang bersifat tetap. Di sini lobi-lobi politik antarpartai pun berperan. Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Gerindra, Partai Golkar, dan Partai Nasional Demokrat dikabarkan mengincar posisi ketua MPR.
Baca Juga
Di tengah perebutan pucuk MPR, PAN mengusulkan adanya penambahan pimpinan menjadi 10. Wakil Sekretaris Jenderal PAN Saleh Partaonan Daulay lah yang pertama kali mengembuskan usulan tersebut.
Terlepas dari perebutan pimpinan, keputusan harus diambil secara musyawarah mufakat, bukan pengambilan suara. Selain itu, semua fraksi dan kelompok DPD diharapkan terwakili dalam pimpinan itu. Dengan demikian, tidak ada yang perlu diperebutkan dan diributkan : tinggal menambah jumlah pimpinan saja menjadi 10.
Pada awal periode 2009—2014, pimpinan MPR hanya berjumlah 5 orang sesuai UU 7/2014 pasal 15. Di situ, kursi diisi oleh partai oposisi dengan Zulkifli Hasan (PAN) duduk sebagai ketua MPR. Sementara wakil ketua adalah Mahyudin (Golkar), E E Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS), dan Oesman Sapta dari DPD.
Kemudian Jokowi menarik partai oposisi untuk bergabung di pemerintahan. PAN, PPP, dan Golkar bergabung. Setelah itu, UU MD3 diubah menjadi UU 2/2018.
Hasil dari perumusan UU 2/2018 terjadi penambahan tiga pimpinan MPR, yang diduduki Ahmad Basarah (PDIP), Ahmad Muzani (Gerindra), dan Muhaimin Iskandar (PKB), Mereka dipilih pada 26 Maret 2018.
Akan tetapi pada periode 2019—2024 jumlah pimpinan akan kembali menjadi 5. Ini tertulis pada pasal 427C UU 2/2018. Jika memang ingin ada penambahan pimpinan MPR jadi 10 maka harus ada revisi UU lagi.
Saleh Daulay mengatakan bahwa isu ini sudah dibahas dengan masing-masing fraksi. Ada yang merespons baik, ada pula yang masih memperdalam argumen. Keputusan belum diambil karena semua partai melihat ini isu strategis.
Kalau memang disetujui, langkah selanjutnya adalah merevisi pasal menjelang berakhirnya periode DPR saat ini. Saleh optimistis hal itu bisa terkejar.
“Bisa saja karena itu kan hanya dua pasal saja dalam UU MD3. Jadi mudah-mudahan bisa diterima,” kata Saleh saat dihubungi, Rabu, (21/8/2019).
Sementara itu Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menjelaskan bahwa penambahan kursi pimpinan MPR masih dalam tahap wacana dan komunikasi politik. Semua bisa terjadi kalau ada kesepakatan bersama.
Gerindra pada dasarnya tidak ada masalah dengan jumlah tersebut. Bagi Fadli, MPR berbeda dengan DPR karena tugasnya menyosialisasikan 4 pilar kebangsaan. Semakin banyak yang menyebarkan, semakin baik.
“Nanti kita lihat lah perkembangannya. [Setuju revisi atau tidak] tergantung pada pembicaraan ini kan belum selesai,” jelasnya.
Dalam perspektif lain, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menuturkan bahwa tugas MPR sifatnya lebih sementara. Berbeda saat orde baru dulu.
MPR kini hanya bekerja melantik presiden dalam sidang. Pemakzulan juga sudah tidak bisa karena harus melalui proses Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan tugas dan fungsi MPR yang ada saat ini, Fahri melihat ruh kepemimpinannya sudah tidak ada lagi. Tugasnya sekarang hanya simbolis menerima tamu.
MPR tentu berbeda dengan DPR dan DPD yang memiliki kepemimpinan permanen karena setiap hari harus rapat.
“Sementara MPR itu paripurna cuma 3, kalau mau lantik presiden, kalau mau ubah UUD, dan kalau mau ganti presiden. Yang dua [terakhir] kali tidak ada. Berarti cuma sekali saja itu kepemimpinan MPR diperlukan, pada saat pelantikan presiden. Sudah itu selesai,” ucapnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP Arsul Sani mengatakan bahwa ada dua pandangan soal pimpinan MPR yang baginya ekstrem. Yang pertama menilai penambahan sebagai ikhtiar partai bagi-bagi jabatan.
Sudut lainnya dibutuhkan karena MPR berperan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena MPR lebih dari sekadar kepentingan politik, Arsul menilai semua partai harus mendapat posisi pimpinan agar sama. Tujuannya agar masalah-masalah kenegaraan lebih kondusif pembahasannya.
Apabila semua partai sepakat penambahan pimpinan, pertanyaan selanjutnya adalah kursinya 8 atau 10. Jika 8 ada partai yang tidak dapat jatah, kalau 10 semua rata.
Koalisi Jokowi berdasarkan pertemuan para sekjen beberapa hari lalu membuka wacana ini. Mereka membahas setelah masing-masing partai bertemu partai di luar pengusung.
Contohnya, pertemuan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Arsul menuturkan bahwa Prabowo menyambut baik ihwal penambahan kursi pimpinan meski ada sisi positif dan negatifnya.
Sejauh ini koalisi Jokowi masih belum mengambil kesimpulan, apakah akan setuju menambah kursi pimpinan atau tidak. Mereka khawatir ada yang cari muka.
“Jangan-jangan kita mau 10 tapi ada juga fraksi yang tidak mau karena misalnya ingin lebih populer di mata publik, mengatakan ini bagi-bagi jabatan kami ga mau ikut. Kan tidak bisa dipaksa juga kalau tidak mau ikut dapat pimpinan MPR,” jelas Arsul.
Nah, pertanyaannya, kalau pimpinan MPR bertambah apakah hal itu akan memperkuat NKRI dan sosialisasi pilar kebangsaan, atau jangan-jangan hanya bagian dari bagi-bagi kursi belaka? Kita nantikan saja.