Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU Perkoperasian : Akankah Berujung Gugatan di MK?

Pemerintah menyiapkan RUU Perkoperasian yang baru sejak 2016 dan sudah disiapkan untuk disahkan oleh DPR. Rupanya RUU ini kembali membangkitkan kegeraman para aktivis perkoperasian yang dulu pernah menggugat di MK.
Bisnis.com
Bisnis.com

Kabar24.com, JAKARTA — Rancangan Undang-undang Perkoperasian tampaknya bakal digugat ke Mahkamah Konstitusi jika disahkan oleh DPR. Publik pun seperti mengalami de javu ketika UU serupa dibatalkan seluruhnya, pada 2014.

Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (Akses) Suroto, masih ingat betul ketika 28 Mei 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pembatalan terhadap UU No 17/2012 tentang Perkoperasian sepenuhnya.

Para pengugat menganggap putusan itu merupakan kemenangan historis dan tidak disangka-sangka. Pasalnya, proses pembuatan UU yang membutuhkan akan waktu lebih dari 12 tahun serta menghabiskan dana ratusan miliar dari APBD, menguap begitu saja akibat penyusunan undang-undang yang dinilai sejumlah pihak sarat dengan kepentingan kelompok tertentu dan tidak merepresentasikan kepentingan gerakan koperasi sejati.

“Kami melakukan konsolidasi yang panjang untuk membedah UU itu sebelum meminta uji materi ke MK,” tuturnya, Rabu (7/8/2019).

UU ini menurut para hakim konstitusi, dianggap bertentangan dengan UUD 1945 secara fundamental karena dianggap telah mencabut asas kekeluargaan dan demokrasi dalam koperasi.

Putusan ini sejalan dengan analisis para aktivis selaku penggugat yang menilai bahwa koperasi merupakan perkumpulan orang (people base association), sementara pengertian koperasi menurut UU No. 17/2012 itu diterjemahkan dalam basis pengertian sebagai asosiasi berbasis modal (capital base association) yang berarti tidak ada bedanya dengan model perusahaan swasta kapitalistik.

“Kita pahami bahwa koperasi itu adalah organisasi yang berbasis pada orang, bukan asosiasi berbasis pada modal. Justru karena perbedaan ini, koperasi diakui eksistensinya dan diakui secara resmi. Kita dapat lihat dari pengakuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menganggap koperasi itu telah berkontribusi nyata dalam pembangunan sosial-ekonomi masyarakat. Kemudian oleh Sidang Umum PBB, 19 Desember 2009 ditetapkan bahwa 2012 merupakani tahun koperasi internasional,” jelasnya.

Lantaran UU tersebut dibatalkan seluruhnya oleh MK, guna mengisi kekosongan hukum maka diberlakukanlah UU lama No. 25 /1992 tentang Perkoperasian.

Pemerintah kemudian menyiapkan RUU baru sejak 2016 dan sudah disiapkan untuk disahkan oleh DPR. Rupanya RUU ini kembali membangkitkan kegeraman para aktivis perkoperasian yang dulu pernah menggugat di MK.

“Kita sudah mobilisasi dan sosialisasi di gerakan credit union dan yang terakhir kita minta YLBHI untuk buat diskusi publik pada 27 Agustus 2019,” papar Suroto.

Kereshaan mereka bukannya tidak beralasan. Ada sejumlah alasan yang menyembul dalam beberapa diskusi mengenai RUU tersebut.

Sebagian aktivis koperasi memberikan penilaian kritis terhadap draft ini. Misalnya, dalam pembukaan RUU, memang telah mengakomodasi pentingnya demokratisasi ekonomi dalam konteks tren global.

Akan tetapi, mukadimah ini dinilai belum menggambarkan pentingnya pernyataan identitas koperasi seperti yang diadopsi oleh kongres badan koperasi dunia, Intenational Cooperative Alliance (ICA) pada 1995.

 

 

Meskipun demikian, draft ini menyebutkan definisi universal, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, termasuk penggabungan kearifan lokal seperti nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong.

Poin kritis lainnya yakni jumlah minimum anggota untuk membentuk koperasi telah dikurangi dari 20 orang menjadi 9 orang (Pasal 10). Akan tetapi ,tidak ada penjelasan mengapa harus 9 orang, karena koperasi dapat dibentuk oleh minimal 3 orang.

“Terminologi surplus dan defisit, serta untung dan rugi, juga secara keliru digunakan untuk menggarisbawahi substansi pendapatan tak terbagi, dan penggunaan dana cadangan [Pasal 59],” urainya.

Poin lain dan nampaknya paling seru adalah penetapan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sebagai wadah tunggal untuk gerakan koperasi. Hal ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip demokrasi (Pasal 1), dan langkah fatal lainnya adalah memasukkan bab khusus tentang Dekopin (Pasal 82 hingga 89).

Para aktivis sejak dulu telah menggugat keberadaan Dekopin yang dipimpin oleh mantan Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) Nurdin Halid itu. Bahkan, mereka sempat menyebarkan petisi agar pemerintah tidak memasukkan Dekopin sebagai lembaga non struktural (LNS) pemerintah yang dikucuri APBN.

LNS memang bisa dibentuk oleh Pemerintah berdasarkan aturan perundang-undangan. Dengan status LNS tersebut Dekopin kemudian menerima dukungan pembiayaan dari APBN.Padahal jika melacak sejarahnya Dekopin itu sendiri adalah Organisasi Masyarakat (Ormas) yang dibentuk oleh elemen gerakan koperasi pada 1947 di Tasikmalaya, Jawa Barat.

“Status LNS itu sebenarnya sangat problematis bila dilekatkan kepada Dekopin. Hal itu berarti juga bahwa negara telah mengkooptasi independensi suatu Ormas tertentu. Selain itu, organisasi koperasi harus bersifat independen terlepas dari campur tangan pemerintah,” ungkap para aktivis dalam petisi online tersebut.

Dekopin, selama ini dianggap menyuarakan kepentingan pemerintah ketimbang menyuarakan aspirasi koperasi. Sebagai contoh, Dekopin justru mendukung UU No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang digugat oleh gerakan koperasi dan telah dibatalkan MK.

Dengan dibiayainya Dekopin oleh APBN, maka terjadi tumpang tindih pembiayaan APBN untuk sektor koperasi melalui Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Dekopin. Dalam setahun, dewan koperasi itu menerima sekitar Rp50 miliar hingga Rp80 miliar dari ABPN.

Mereka juga menilai Dekopin tidak transparan dalam pengelolaan keuangannya terutama pada penggunaan dana yang berasal dari pemerintah. Selain itu penggunaan anggaran tidak diikuti oleh pelaporan penggunaan anggaran dan kinerja sesuai dengan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) lewat website resmi atau media lainnya.

Dekopin juga dianggap tidak membawa dampak positif bagi gerakan koperasi Indonesia yang ditandai dengan kontribusi koperasi terhadap PDB hanya 1,7% dan tidak beranjak dari tahun ke tahun di samping tidak mampu mendorong kahirnya koperasi-koperasi besar dan sehat yang dapat masuk ke jajaran 300 koperasi dunia.

Masih ada beberapa poin kritis lainnya yang bakal menjadi sasaran tembak para aktivis koperasi. Pada intinya, mereka mengaggap RUU ini tidak menunjukkan indikasi penguatan otonomi koperasi, tetapi lebih condong ke arah campur tangan dan intervensi pada operasi sehari-hari koperasi.

“Ini menempatkan koperasi sebagai kalah dengan bisnis sektor swasta dan publik, dan menjadikan Dewan Koperasi sebagai agen tunggal untuk pengembangan koperasi menyebabkan potensi semakin terbelakangnya koperasi. RUU ini telah gagal melindungi pentingnya identitas koperasi.. RUU Koperasi gagal menjelaskan keunggulan komparatif dan kompetitif koperasi. Ini akan menghambat pencapaian demokrasi ekonomi dan menciptakan undang-undang koperasi yang tidak bersahabat dengan pertumbuhan dan perkembangan koperasi yang baik,” pungkasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper