Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai para pelaku tindak pidana perdagangan orang sebaiknya tidak diberikan remisi atau hak lainnya.
Hal itu menjadi salah satu rekomendasi LPSK kepada pemerintah karena banyak wilayah di Indonesia menjadi sarang perdagangan manusia.
Tenaga Ahli LPSK Rully Novian menyampaikan, dari pengalaman LPSK dalam menangani saksi dan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), ada beberapa rekomendasi, antara lain pemerintah harus memberikan perhatian khusus kepada wilayah-wilayah asal korban, dengan cara meningkatkan kesempatan kerja dan mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut.
Selain itu, menurutnya, perlu dilakukan kampanye anti-perdagangan orang yang efektif agar masyarakat dapat mengenali dan mencegah terjadinya tindak pidana ini. Juga mendorong penegak hukum meningkatkan profesionalitas dalam melakukan penindakan agar pelaku pelaku utama dalam sindikat perdagangan orang dapat dipidanakan.
“Rekomendasi lainnya, para pelaku sebaiknya tidak diberikan hak-hak narapidana seperti remisi dan pembebasan bersyarat apabila mereka tidak membayarkan restitusi kepada korban. Tak kalah penting, dorongan melakukan percepatan proses single identity dan terkoneksi pada seluruh layanan kependudukan dan perizinan di seluruh Indonesia untuk mencegah pemalsuan dokumen,” ujarnya, Rabu (7/8/2019).
Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengungkapkan, dari 318 korban TPPO yang ditangani LPSK, sebanyak 118 korban berasal dari Jawa Barat, 32 korban dari Nusa Tenggara Barat (NTB), 32 korban dari Jawa Tengah (Jateng), 27 korban dari Nusa Tenggara Timur (NTT), dan 16 korban dari Banten.
“Data itu merujuk kepada domisili korban. Namun, ini tidak sepenuhnya menggambarkan peta korban secara nasional karena hanya berdasarkan permohonan yang masuk ke LPSK,” ujarnya.
Dari 318 korban yang ditangani LPSK, lanjutnya, sebanyak 215 orang korban berjenis kelamin perempuan dan 53 di antaranya merupakan anak. Mereka umumnya bekerja di sektor domestik, bisnis dan hiburan.
Sektor domestik sebagian besar menjadi pekerja rumah tangga (PRT) dengan salah satu modusnya melalui ikatan perkawinan (pengantin pesanan), sektor bisnis bekerja di bidang pertanian atau perkebunan; anak buah kapal (ABK); dan pelayan restoran. Untuk sektor hiburan dominan, korban dipekerjakan sebagai pekerja seks komersial dan tempat-tempat panti pijat.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menambahkan, wilayah-wilayah yang menjadi tujuan perdagangan orang di dalam negeri, seperti Maluku, DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Itulah 5 daerah teratas tujuan perdagangan orang.
Sementara itu, wilayah tujuan luar negeri, tercatat negara seperti Malaysia, Arab Saudi, Korea Selatan dan Turki, sebagai empat negara teratas tujuan perdagangan orang. “Fakta menarik, daerah tujuan perdagangan orang ini juga menyasar ke negara konflik, seperti Suriah dan Sudan,” ungkapnya.
Faktor ekonomi, menurut Antonius, paling dominan menjadi penyebab seseorang menjadi korban TPPO. Faktor itu tidak terlepas dari faktor pendidikan (putus sekolah) yang menempatkan korban dalam lingkaran perdagangan manusia.
Para pelaku memanfaatkan faktor-faktor tersebut dengan berbagai cara, seperti menjanjikan penghasilan yang besar, memberikan pinjaman kepada keluarganya (penjeratan hutang), menjanjikan pekerjaan yang layak, dan beberapa cara lainnya seperti perkawinan.
LPSK, kata Antonius, terus berupaya melakukan layanan perlindungan dan pemenuhan hak saksi dan korban TPPO, di antaranya LPSK memberikan perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural, perlindungan hukum, bantuan medis, rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial dan fasilitasi restitusi.