Bisnis.com, JAKARTA -- International Monetary Fund (IMF) telah memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi 2019 untuk Singapura dari 2,3% menjadi 2% di tengah ketegangan perdagangan global yang menekan ekspor negara tersebut.
Perkiraan ini didasarkan pada diskusi para pejabat pemerintah Singapura yang berakhir pada 14 Mei 2019.
Pemberi pinjaman yang berbasis di Washington ini menyatakan bahwa ekonomi Singapura hanya tumbuh 0,1% pada kuartal kedua, laju tahunan paling lambat dalam satu dekade, sehingga meningkatkan potensi resesi dan pelonggaran kebijakan moneter.
"Mengingat ketegangan perdagangan global, dukungan dari sektor eksternal diperkirakan akan turun dan pendorong pertumbuhan diproyeksikan untuk kembali ke permintaan domestik," kata IMF seperti dikutip melalui Reuters, Selasa (16/7/2019).
IMF menambahkan bahwa prospek pertumbuhan tetap mengarah ke bawah, yang sebagian besar disebabkan dari faktor eksternal, termasuk pengetatan kondisi keuangan global, peningkatan ketegangan perdagangan yang berkelanjutan, dan perlambatan pertumbuhan global.
Mereka juga menekankan bahwa pertumbuhan ekonomi Singapura harus stabil pada kisaran 2,5% dalam jangka menengah.
Sementara itu, Bank Sentral Singapura (MAS) memperkirakan pertumbuhan tahun ini pada kisaran 1,5% dan 2,5% atau turun dari 3,2% pada 2018.
Baca Juga
Data ekonomi Singapura secara tidak terduga menunjukkan kontraksi yang memberikan peringatan bagi perdagangan dunia di tengah meningkatnya ketegangan dagang serta kepercayaan diri dan kegiatan bisnis yang lesu.
Angka produk domestik bruto (PDB) negara yang bergantung pada ekspor tersebut turun menjadi 3,4% pada kuartal II/2019 dari 3,8% pada kuartal sebelumnya, ini merupakan penurunan terbesar sejak 2012.
Pelemahan di Singapura tidak terjadi terbatas pada sektor ekspor saja.
Di saat sektor manufaktur mencatatkan kontraksi sebesar 6% pada kuartal kedua dari kuartal sebelumnya, sektor konstruksi ikut anjlok sebesar 7,6%. Berbanding terbalik dari ekspansi sebesar 13,3% dari kuartal pertama.
Adapun, industri jasa turut mengalami penyusutan sebesar 1,5% pada kuartal kedua.
Pelemahan tersebut kemungkinan akan mendorong bank sentral, Otoritas Moneter Singapura (MAS), untuk menahan perubahan apapun pada kebijakan moneter mereka pada Oktober mendatang atau justru melakukan pelonggaran.