Bisnis.com, JAKARTA -- Pesanan mesin Jepang turun untuk pertama kalinya sejak Januari dan pada tingkat yang lebih cepat dari yang diperkirakan.
Kondisi ini menimbulkan keraguan pada kekuatan investasi modal selama beberapa bulan mendatang di tengah perlambatan ekonomi global.
Menurut data yang dirilis Kantor Kabinet pada Senin (8/7/2019), pesanan mesin inti (core machine orders), indikator utama belanja modal, turun 7,8% pada Mei dibandingkan dengan realisasi pada April, penurunan terbesar dalam 8 bulan terakhir.
Angka penurunan tersebut berada jauh di bawah proyeksi ekonom pada kisaran penurunan 3,8%. Secara umum, jumlah pesanan merosot 3,7% dari tahun sebelumnya.
Belanja modal telah menjadi penopang penting bagi perekonomian dalam beberapa kuartal terakhir, mendukung pertumbuhan meskipun ada penurunan ekspor karena pertumbuhan global melambat.
Penurunan tajam dalam pesanan mesin bisa menjadi sinyal awal bahwa belanja modal akan melunak.
"Saya pikir akan sulit bagi pengeluaran modal untuk menarik ekonomi Jepang," kata Norio Miyagawa, ekonom senior di Mizuho Securities, menunjuk pada ketidakpastian rencana investasi di tengah permintaan luar negeri yang lunak, seperti dikutip melalui Bloomberg, Senin (8/7/2019).
Data terbaru menunjukkan pesanan mesin turun di sektor manufaktur dan non-manufaktur.
Sejauh ini, pengeluaran modal oleh non-produsen lebih tinggi dari pada capex, karena kekurangan tenaga kerja Jepang yang terus-menerus meningkatkan kebutuhan akan otomatisasi dan Olimpiade 2020 membuka peluang permintaan.
Para ekonom saat ini berhati-hati agar tidak terpaku pada tren perusahaan dalam laporan bulanan dari sekumpulan data yang fluktuatif.
Di sisi lain, peningkatan gesekan perdagangan antara AS dan China pada Mei adalah salah satu faktor yang akan berkontribusi pada beberapa perusahaan yang menunda rencana investasi.
“Untuk kuartal kedua, kami mengharapkan pesanan inti kurang lebih dapat memulihkan penurunan sebesar 3,2% pada kuartal pertama. Namun angka tersebut masih jauh dari proyeksi oleh sektor korporat yang menggarisbawahi tekanan eksternal terhadap ekonomi dari perang perdagangan AS-China," ujar ekonom Jepang, Yuki Masujima.
Sementara itu, analis yang disurvei oleh Reuters memperkirakan neraca berjalan Jepang akan mencapai surplus 1,38 triliun yen atau senilai US$12,8 miliar pada Mei, turun dari 1,71 triliun yen pada April.
Menurut para analis, keuntungan dari neraca pendapatan yang termasuk pendapatan dari subsidi luar negeri, menawarkan beberapa dukungan tetapi defisit perdagangan kemungkinan membengkak karena ekspor yang lemah, sehingga menghasilkan surplus yang lebih rendah.
Indeks harga barang perusahaan Bank Sentral Jepang (CGPI), yang mengukur harga yang ditagih antar korporasi untuk barang dan jasa, kemungkinan naik 0,3% pada Juni dari tahun sebelumnya atau melambat dari kenaikan 0,7% pada Mei.
"Penurunan harga dalam produk-produk terkait minyak dan batu bara, serta produk-produk kimia dan logam non-ferro tampaknya telah membebani indeks," kata para analis.