Bisnis.com, JAKARTA — Kekalahan dalam kontestasi Pilpres bukanlah akhir dari segalanya. Kini giliran Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat, mengemban tugas membangun tradisi oposisi yang berkualitas, demi menjaga stabilitas politik bangsa.
Kendati demikian, Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti menyayangkan adanya tradisi keluar-masuk oposisi, berdalih kepentingan jangka pendek di kancah perpolitikan Tanah Air.
Menurutnya, antara koalisi pemerintah dan oposisi, idealnya terbangun sejak sebelum pemilu digelar dan konsisten bekerja hingga pemerintahan hasil pemilu tersebut berakhir. Serta, keduanya diikat dengan kesamaan ideologi dan program politik yang kompak.
"Sebenarnya, dalam konteks politik di Indonesia, upaya membenahi sistem untuk membangun koalisi politik jangka panjang sudah dilakukan melalui pemilu serentak. Tetapi hal ini buyar ketika presidential threshold diterapkan, ditambah lagi dalam peraturan hukum kita tidak ada ketentuan untuk mengikat koalisi secara jangka panjang," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (1/7/2019).
Putri menjelaskan bahwa di Indonesia, posisi oposisi dan koalisi memang tidak didasarkan pada perbedaan ideologi, sehingga sangat sulit untuk melihat secara jelas irisan perbedaan perspektif dan kepentingannya dalam melihat sebuah masalah atau isu.
Baca Juga
"Beda misalnya dengan AS atau negara-negara di Eropa yang garis ideologi partainya jelas. Hal ini yang jadi problem, sehingga sulit bagi kita untuk memprediksi perspektif sikap politik oposisi terhadap suatu isu, atau untuk memastikan bahwa sikap oposisi memang murni untuk kepentingan publik, bukan untuk kepentingan politik semata," tambahnya.
Oleh sebab itu, Putri berharap, tradisi posisi oposisi yang baik usai Pilpres 2019 akan semakin matang. Yakni, sebagai pengawas dan penyeimbang kelompok koalisi pemerintah.
Oposisi wajib mengawasi kerja pemerintahan secara seksama agar on the track, sesuai amanat konstitusi dan kepentingan rakyat, serta memberikan perspektif berbeda yang membangun untuk menyeimbangkan kebijakan-kebijakan pemerintah.
"Hal ini menjadikan pemerintah untuk selalu berhati-hati dalam membuat kebijakan, dan menjadikan pemerintah untuk terus bekerja sesuai aturan dan kepentingan publik," jelasnya.
Senada dengan Putri, Analis Politik Exposit Strategic Arif Susanto menyoroti perilaku partai oposisi selama kontestasi Pilpres 2019 lalu, dan menyarankan agar mereka memperbaiki citra diri.
Menurut Arif, para parpol oposisi tersebut mesti menggeser orientasi mereka ketika mengkritisi, agar lebih cermat, bukan menjatuhkan personal, apalagi mendelegitimasi lembaga negara untuk menyerang lawan politik.
"Kalau anda mengkritik Jokowi kemudian Jokowi menjadi lebih lemah, itu paling yang dirugikan adalah Jokowi dan teman-temannya. Tapi kalau anda menyatakan ketidakpercayaan terhadap KPU, Bawaslu, bahkan Mahkamah Konstitusi, lalu orang menjadi tidak percaya terhadap institusi negara, alternatifnya apa? Ya kekacauan," ujarnya.
Oleh sebab itu, menurut Arif, bila perilaku kritis tanpa landasan seperti itu masih terus berlangsung, jangan menyalahkan masyarakat apabila nantinya menganggap oposisi hanya 'tukang nyinyir' semata.
Padahal, Arif memprediksi apabila kelompok oposisi ini lebih sabar dan sanggup membangun argumen kuat ketika mengkritisi, partai-partai ini bisa panen suara di Pemilu berikutnya. Terlebih, secara kuantitatif kelompok oposisi ini cukup kuat di mata masyarakat dengan perolehan suara mencapai 44,5 persen.