Bisnis.com, JAKARTA — Tim Hukum TKN Jokowi-Ma'ruf berpendapat bahwa pihak Tim Hukum BPN Prabowo-Sandi banyak melanggar asas hukum dalam pengajuan perkara sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini diungkap pengacara senior sekaligus anggota Tim Hukum TKN Jokowi-Ma'ruf I Wayan Sudirta di Posko Cemara TKN Jokowi-Ma'ruf, Senin (17/6/2019).
"Mari kita lewati perkara ini dengan tidak membuat hiruk-pikuk. Janganlah teman-teman di sebelah sana membawa proses pengadilan ini ke dalam suasana yang keluar dari cara-cara profesionalitas seorang pengacara membela kliennya. Jangan mencari panggung sendiri," ujar Wayan.
Wayan menjelaskan lebih lanjut, pertama, permohonan gugatan Tim Hukum BPN dianggap tidak memenuhi persyaratan formil terkait perselisihan hasil pemilu sehingga menyimpang dari undang-undang dan peraturan MK.
"Saya tidak berkata sendiri, pengamat yang saya dengar tidak satu pun mengatakan permohonan ini layak dan lazim. Kita lihat dari awal, persyaratan formal yang dimaksud Pasal 51 [UU MK] dilanggar. Salah satunya, tidak dipenuhinya pasal 8 ayat 4 [Peraturan MK no 4/2018] bahwa pokok permohonan harus memuat perselisihan suara," jelasnya.
Kedua, secara materiil, Wayan mewakili Tim Hukum TKN masih berpendapat bahwa penambahan permohonan yang diajukan Tim Hukum BPN pada 10 Juni 2019 melanggar aturan hukum acara persidangan.
Baca Juga
"Ketika ditambahkan dengan apa yang disebut [Tim Hukum BPN] lampiran, berusaha untuk membelokkan keadaan karena sudah tidak mampu mempertahankan permohonan tanggal 24 Mei," ujarnya.
Ketiga, Tim Hukum BPN keluar dari teori hukum umum bahwa makin ringkas suatu gugatan, makinlah baik. Semakin panjang, akan semakin sulit membuktikannya.
"Ini malah permohonannya ratusan. Ini kan sama dengan mencari kuburan namanya. Kalau orang jalanan bilang ini mencari mati dengan menyiapkan tali gantungan sendiri untuk menjerat lehernya. Permohonan panjang pasti sulit dibuktikan," ujar Wayan.
Keempat, menurut Wayan, di setiap persidangan Majelis Hakim pasti selalu mempertimbangkan dasar hukum dan alat bukti, bukan semata pendapat pengacara.
"Tapi yang terjadi pendapat pengacara berserakan di kubu 02. Itu kan pekerjaan sia-sia. Mereka bukannya tidak tahu. Mereka juga pasti tahu kalau permohonan seperti ini akan diragukan oleh masyatakat. Tapi, mereka lakukan juga. Sehingga nanti ditemukan ramai di luar sidang, sepi pembuktian di dalam sidang," jelasnya.
Kelima, Tim Hukum BPN telah jelas-jelas melanggar perintah hakim ketika sidang perdana pada Jumat (14/6/2019). Ketika itu, hakim meminta Tim Hukum BPN sebagai pemohon membacakan pokok-pokok permohonan versi 24 Mei, tetapi yang akhirnya dibacakan, justru berbeda.
"Saya mau tanya, ada nggak contoh lain yang berani menentang perintah hakim? Belum pernah. Saya ini umur 69 tahun, beracara puluh-puluh tahun, belum ada perintah hakim dilanggar di depan hakim itu sendiri," ujarnya.
"Tapi kuasa pemohon dengan lantang berapi-api menggunakan panggung persidangan itu untuk melanggar perintah majelis dengan membaca berlembar-lembar permohonan baru," tutup Wayan.