Bisnis.com, JAKARTA — Pasar saham global telah kehilangan nilanya lebih dari US$2 triliun sepanjang Mei, seiring dengan memanasnya konflik dagang antara AS—China.
Eskalasi perang dagang yang membawa ancaman perlambatan ekonomi global tersebut semakin keruh ketika Presiden AS Donald Trump mengancam bakal memberikan tarif terhadap Meksiko pada Jumat (31/5/2019).
Washington menyampaikan, AS bakal memberlakukan tarif sebesar 5 persen untuk produk impor asal Meksiko per 10 Juni 2019—yang kemudian akan naik perlahan hingga 25 persen—sampai imigrasi ilegal dari Meksiko yang masuk ke AS berhenti.
Trump mengumumkan keputusan tersebut dalam sebuah cuitan pada Kamis (30/5/2019) malam yang membuat bursa saham global terkejut.
Indeks S&P 500 langsung anjlok 1,3 persen, sehingga sepanjang Mei kinerjanya turun 6,6 persen. Berdasarkan data Datastream dari Refinitiv, kerugian tersebut setara dengan penurunan kapitalisasi pasar sekitar US$1,6 triliun.
Sementara itu, indeks MSCI yang menjadi tolok ukur saham-saham di seluruh dunia melemah 0,8 persen. Sepanjang Mei, kinerjanya turun 6,2 persen atau setara dengan kerugian lebih dari US$2 triliun.
“Semakin kita khawatir dengan tarif tambahan, sementara isu tarif sebelumnya dengan China belum juga selesai, hanya akan menjadi sentimen negatif untuk pasar global.” kata Saira Malik, Head of Global Equities di perusahaan manajer investasi Nuveen, seperti dikutip Reuters, Sabtu (1/6).
Adapun indeks Nikkei dan indeks MSCI Asia Pasifik mengecualikan Jepang masing-masing tumbang hampir 8 persen sepanjang Mei, memperlihatkan bahwa kawasan Asia merupakan yang paling sensitif terhadap isu perdagangan global.
Sementara indeks STOXX 600 dari Eropa terdepresiasi 0,8 persen pada akhir bulan lalu, sehingga sepanjang bulan turun 5,7 persen atau penurunan terdalam selama sebulan sejak Januari 2016.
Ryan Detrick, Senior Market Strategist di LPL Financial, menilai ancaman terbaru mengenai tarif AS untuk Meksiko tersebut sangat tidak terduga karena perundingan antara AS dengan Kanada dan Meksiko sejauh ini berjalan lancar.
“Pertanyaan besarnya adalah bagaimana kita bisa memerangi dua perang dagang dalam waktu bersamaan,” kata Detrick.