Bisnis.com, JAKARTA - Mantan Ketua Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari meminta pemerintah mengusut tuntas insiden kematian hampir 455 petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) selama penyelenggaraan Pemilu 2019.
Dia mengutip UUD 1945 pasal (4) perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Aidil juga melayangkan kritik terkait standar operation procedure (SOP) yang diterapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada petugas KPPS di seluruh Indonesia.
"SOP yang dibikin apakah sudah betul-betul mempertimbangkan kemungkinan yang bisa mengancam hak hidup? Pemerintah harus bertanggung jawab atas apapun yang terjadi sehingga mengakibatkan terenggutnya hak hidup karena kebijakan," katanya saat konferensi pers di kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Senin (13/5/2019).
Menurutnya, kelebihan waktu kerja sebenarnya sudah disadari sejak Pemilu 2014. Kala itu, tercatat 144 petugas KPPS yang meninggal saat menjalankan tugas. Meski demikian, dia menilai respons publik waktu itu tidak seperti sekarang.
Apabila KPU sudah mempertimbangkan SOP dengan matang, maka tidak akan muncul gelombang insiden yang mengakibatkan ratusan orang meninggal dan ribuan sakit.
Dia tak menyangkal bahwa KPU sudah berupaya mengurangi beban petugas, salah satunya memangkas jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari 500 orang menjadi 300 orang. Namun, hal itu ternyata tak membuat jam kerja dan tekanan petugas KPPS berkurang.
Baca Juga
Karena itu, dia meminta Presiden Joko Widodo sebagai representasi tertinggi pemerintah untuk mengambil tindakan, yakni dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Tim itu terdiri dari berbagai elemen, misalnya KPU, Bawaslu, Kepolisian, Komnas Ham, Ikatan Dokter Indonesia dan Kementerian Kesehatan. TGPF memiliki kewenangan untuk mencari penyebab kematian tak wajar ratusan petugas KPPS selama menjalankan tugas Pemilu 2019.
"Preseden pembentukan TGPF hampir mirip dengan TGPF saat insiden [kerusuhan Mei] 1998]. Kalau kita lihat urgensinya sama, ada ratusan orang meninggal dalam waktu yang relatif singkat. Kita tidak tahu apakah akan akan berhenti atau tidak," ungkapnya.
Bukan itu saja, dia menilai pembentukan TGPF tak hanya dapat mencari kebenaran atau penyebab kematian para petugas KPPS, tetapi menghalau berita bohong atau hoax yang terlanjur tersebar di masyarakat.
Pasalnya, saat ini banyak yang percaya meninggalnya petugas KPPS karena dibunuh atau diracun oleh pihak tertentu.
"TGPF anggotanya dari berbagai kalangan. Kalau dilaksanakan oleh KPU, banyak [orang] tidak percaya KPU sekarang. Begitu pula dengan Komnas HAM atau Kepolisian. TGPF tidak ada dasar hukumnya, jadi Presiden bisa menggunakan diskresi. Tujuannya untuk menimbulkan kepercayaan rakyat kembali," tutur Aidul.
Jumlah petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia selama proses Pemilu 2019 terus bertambah setiap hari.
Direktur Rujukan Kementerian Kesehatan Tri Hesti Widiastuti mengatakan pihaknya meminta agar Dinas Kesehatan di provinsi melakukan pengawalan ekstra seiring terus bertambahnya jumlah petugas KPPS yang meninggal dan sakit.
"Kami mendapat laporan terakhir pada 12 mei pukul 18.00 WIB. Dari 17 provinsi, tercatat ada 445 orang yang meninggal dan 10.007 orang yang sakit. Mereka mengumpulkan dari semua kabupaten," katanya.
Dia menuturkan angka kematian petugas KPPS tertinggi tercatat di Jawa Barat, yaitu 117 orang meninggal dunia. Selanjutnya, petugas KPPS yang meninggal dunia juga berasal dari DKI Jakarta, Banten, Jawa Timur, dan Kalimantan Selatan.
Berdasarkan data surveilance, para petugas KPPS yang wafat sebagian besar berusia di atas 50-59 tahun dan 40-49 tahun. Sementara itu, jika diteliti dari penyebab kematian (cause of death), para korban jiwa paling banyak mengalami gagal jantung, stroke, dan kecelakaan lainnya.