Kabar24.com, JAKARTA — Tersangka kasus dugaan suap proyek kerja sama pembangunan PLTU Mulut Tanbang Riau-1, Sofyan Basir, akhirnya memilih jalan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Direktur Utama nonaktif PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) itu resmi mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 48/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL pada Rabu (8/5/2019).
Selaku pemohon, Sofyan Basir mempermasahkan sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh KPK dalam hal ini selaku termohon.
Sofyan Basir menjadi tersangka dalam kasus suap proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang Riau-1.
Setidaknya ada sejumlah petitum permohonan dari Sofyan Basir.
Dalam provisi, misalnya, memerintahkan KPK selaku termohon untuk tidak melakukan tindakan hukum apapun Sofyan Basir.
Tindakan hukum itu di antaranya melakukan pemeriksaan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan tidak melimpahkan berkas perkara dari penyidikan ke penuntutan.
Hal itu dalam perkara sebagaimana dimaksud pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Sprin.Dik/33/Dik.00/04/2019 tertanggal 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019, tertanggal 22 April 2019 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
"Selama pemeriksaan praperadilan ini sampai dengan adanya putusan pengadilan dalam perkara permohonan praperadilan ini," tulis petitum permohonan dalam provisi dikutip Bisnis, Jumat (10/5/2019).
Adapun dalam pokok perkara, Sofyan Basir menyatakan bahwa Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 22 April 2019 dan Surat KPK R.I. Nomor: B 230/DIK.00/23/04/2019 perihal pemberitahuan dimulainya penyidikan adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penetapan aquo tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Begitu pula dengan penyidikan yang dilakukan termohon alias KPK terhadap pemohon sebagaimana tertuang dalam Sprindik dinilai tidak sah, tidak berdasarkan atas hukum, dan oleh karenanya penyidikan aquo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon," tulis isi petitum.
Kemudian, menyatakan penetapan tersangka terhadap Sofyan Basir oleh KPK dalam perkara dugaa tindak pidana korupsi terkait kesepakatan kontrak kerja sama Pembangunan PLTU Riau-1adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
"Menyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri pemohon oleh termohon termasuk penyidikan dengan menggunakan alat bukti lama [bukan alat bukti baru] , yang diperoleh dari perkara-perkara lain sebelumnya."
Permohonan praperadilan ini berbading terbalik dengan pernyataan kuasa hukum Sofyan, Soesilo Aribowo, usai menemani kliennya mejalani pemeriksaan KPK pada Senin (6/5/2019).
Saat itu, dia belum memikirkan langkah praperadilan terhadap kliennya tersebut. Sebelumnya, dia juga menyatakan akan mencermati kembali fakta-fakta persidangan kasus PLTU Riau-1.
"Praperadilan belum, lah, belum tahu kita," ujarnya.
Selain itu, tim kuasa hukum juga masih harus mencermati dua alat bukti dari KPK yang berujung sahnya penetapan tersangka bagi Sofyan Basir.
Dalam perkara ini, Sofyan Basir diduga menerima janji fee proyek dari pengusaha Johannes B. Kotjo dengan nilai yang sama dengan mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni M. Saragih dan mantan Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham terkait PLTU Riau-1.
KPK menduga Sofyan Basir berperan aktif memerintahkan salah satu direktur di PLN untuk segera merealisasikan power purchase agreement (PPA) antara PT PLN, Blackgold Natural Resources Ltd. dan CHEC selaku investor.
Tak hanya itu, Sofyan juga diduga meminta salah satu direkturnya untuk berhubungan langsung dengan Eni Saragih dan salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Johannes B. Kotjo.
KPK juga menyangka Sofyan meminta direktur di PLN tersebut untuk memonitor terkait proyek tersebut lantaran ada keluhan dari Kotjo tentang lamanya penentuan proyek PLTU Riau-1.