Bisnis.com, JAKARTA -- Berpolusi dan minim ruang terbuka. Dua kata itu mungkin tepat digunakan untuk menggambarkan kondisi sejumlah kota besar di Indonesia.
Masyarakat di kota-kota besar Indonesia masih harus menjadikan keinginannya hidup di lingkungan yang asri dan minim polusi sebagai angan. Pasalnya, pembangunan di mayoritas kota saat ini tidak memperhatikan kondisi lingkungan.
Hal itu tercermin dari data yang dimiliki Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Sampai saat ini, baru 13 dari 174 kota di Indonesia yang mengikuti Program Kota Hijau dan memiliki porsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) 30 persen atau lebih.
Padahal, ketentuan agar kota memiliki 30 persen RTH sudah diatur sejak 2007 melalui Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Beleid itu mengatur proporsi RTH pada setiap kota, yakni paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota.
Sejumlah orang menggunakan masker untuk melindungi diri dari polusi udara saat menyeberang di jembatan penyeberangan orang di Sarinah, Jakarta, Senin (9/10/2017)./ANTARA-Galih Pradipta
UU Penataan Ruang juga menyebut harus ada minimal 20 persen RTH publik dari luas wilayah kota yang tersedia di masing-masing daerah. Aturan itu membagi RTH ke dalam dua jenis yakni ruang terbuka publik dan privat.
"Dari 174 kota yang ikut program ini, yang [cakupan RTH] lebih dari 30 persen itu cuma 12 kota. Kita jumlah kota berapa sih di Indonesia? Kan banyak. Itu kan enggak sampai 10 persen yang memenuhi [RTH 30 persen]. Hanya 6 persen saja itu yang memenuhi," kata Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian PUPR Danis Hidayat Sumadilaga kepada Bisnis, Selasa (23/4/2019).
Dia mengaku belum memiliki data kota-kota mana saja yang sudah mematuhi aturan tersebut. Tetapi, Danis mengakui masih minimnya jumlah kota yang memiliki ruang terbuka layak.
Berdasarkan penelusuran Bisnis, saat ini, luas RTH di DKI Jakarta saja masih berada di angka 9,8 persen. Namun, ada versi lain yang menyebut RTH di ibu kota sudah mencapai 14,9 persen dari luar wilayah.
Perbedaan data itu diakui oleh Kepala Seksi Perencanaan Pertamanan Dinas Kehutanan DKI Jakarta Hendrianto. Dikutip dari Tempo, dia menyebut angka 14,9 persen luas RTH didapat dari studi akademis peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB) dan DKI Jakarta.
Kemudian, RTH di Kota Bandung, berdasarkan data di laman Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan dan Pertamanan baru mencapai 12,15 persen hingga 2015. RTH di kota besar lain yakni Surabaya juga masih berada di kisaran 20 persen.
Mengapa RTH Minim?
Menurut Danis, minimnya luas RTH di kota-kota besar bisa disebabkan tiga hal. Pertama, minimnya lahan yang dimiliki pemerintah setempat untuk dikembangkan menjadi RTH. Kedua, pemerintah tak memiliki dana untuk menambah ruang terbuka.
Penyebab ketiga, dia menduga pembelian lahan untuk diubah menjadi ruang terbuka tak gampang, entah karena alasan harga atau lokasi yang tidak strategis. Karena itu, banyak Pemerintah Kota (Pemkot) yang hingga kini kesulitan menaikkan porsi RTH di wilayah kekuasaannya.
"Itu yang jadi masalah saat ini. Jadi supply dan demand, ya kurang suplainya, demand-nya tinggi. Makanya misalnya pembangunan hunian kalau kita di perkotaan harus seminimal mungkin menggunakan tanah. Apa jawabannya? Hunian vertikal, jangan rumah tapak," tutur Danis.
Warga beraktivitas di Taman Lembah Mawar, Depok, Jawa Barat, Rabu (10/4/2019). Untuk menjaga kondisi kawasan Kota Depok sebagai daerah resapan air, jajaran Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Depok berupaya menambah luas lahan taman dan ruang terbuka hijau (RTH) di 11 kecamatan pada tahun ini./ANTARA-Yulius Satria Wijaya
Semrawutnya penggunaan lahan di kota-kota besar selama ini terjadi lantaran belum tersedianya peraturan daerah tentang zonasi di semua daerah. Padahal, UU Penataan Ruang telah mengatur agar pemerintah daerah memiliki aturan soal zonasi untuk pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah masing-masing.
Kementerian PUPR mendorong agar semua Pemkot punya gagasan mengembangkan kawasan perkotaan yang ramah lingkungan. Karena itu, upaya Pemkot menambah RTH dengan membeli lahan serta memelihara lahan terbuka yang sudah ada harus terus dilakukan.
"Kita bisa, misalnya, RTH kita lakukan jangan hanya lihat Jakarta. Tapi lihat kota-kota di Kalimantan, di tepi-tepi sungai kita bikin RTH," terangnya.
Danis menyampaikan langkah mudah yang bisa dilakukan untuk menambah RTH sebenarnya dengan memanfaatkan lahan di tepi sungai untuk ditanami tanaman alih-alih sekadar membangun jalan inspeksi. Salah satu contoh penataan tepi sungai yang berhasil adalah proyek revitalisasi Banjir Kanal Timur (BKT) di DKI Jakarta.
Pentingnya RTH
Sedikitnya kota yang memenuhi luas RTH minimal 30 persen bisa juga disebabkan karena tidak adanya sanksi, baik pidana maupun sosial, atas peraturan itu.
UU Penataan Ruang tidak mengatur sanksi yang bisa diberikan seandainya pemerintah daerah gagal memenuhi RTH minim 30 persen dari luas wilayahnya. Selain itu, masyarakat di perkotaan juga tak banyak yang sadar akan pentingnya ruang terbuka.
Ahli arsitektur dan perkotaan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Profesor Johan Silas mengatakan ruang terbuka memegang peran penting untuk menjaga kesehatan dan penyediaan udara yang baik bagi warga yang tinggal di kota.
Menurutnya, jika masyarakat sadar akan pentingnya RTH maka sanksi sosial harusnya bisa mereka berikan kepada pejabat pemerintah daerah yang gagal menyediakan ruang terbuka. Sanksi itu misalnya, berupa tindakan tak memilih pejabat yang gagal menambah ruang terbuka pada Pemilu.
"Itu masyarakat bisa menekan, jadi kuncinya kesadaran masyarakat. Karena kalau mutu udara jelek juga kan yang dirugikan masyarakat," ucap Johan kepada Bisnis, Kamis (25/4).
Baca Juga
Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/4/2019). Kawasan itu telah direvitalisasi agar dapat digunakan sebagai ruang publik yang nyaman bagi warga./Bisnis-Annisa Margrit
Dia mengemukakan standar RTH minimal 30 persen dari luas suatu wilayah bukan dibuat tanpa konsep. Angka itu muncul berdasarkan perhitungan rigid agar masyarakat dapat tetap menikmati kualitas udara yang baik meski tinggal di kawasan perkotaan.
Menurut Johan, banyak kota besar di Indonesia gagal memenuhi kuota 30 persen RTH karena tata ruang yang berantakan. Pemerintah di tiap kota juga dianggap kurang berani memperjuangkan pemenuhan 30 persen RTH.
"Jadi mereka lebih mementingkan membangun daripada menyediakan tempat-tempat hijau. Kebanyakan alun-alun diubah mal, taman diubah ruko. Keberanian Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk bertindak saya kira penting," imbuhnya.
Tingginya biaya untuk memperluas RTH pun mestinya tak menjadi halangan. Apalagi, pemerintah pusat sebenarnya bisa membantu pengadaan ruang terbuka dengan cara memberi insentif.
"Pemerintah pusat bisa beri intensif membantu dalam rangka penyediaan itu [ruang terbuka]. Sebetulnya tak ada alasan kok. Saya melihat bisa saja harusnya walau harga tanah mahal," tegas Johan.