Kabar24.com, JAKARTA — PT Hollit International mengajukan uji materi bunyi Pasal 56 Undang-undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal itu dianggap memberikan kerugian konstitusional dalam kelangsungan bisnis perusahaan.
Bunyi Pasal 56 menyatakan bahwa pengadilan hubungan industrial bertugas dan berwenang memerika dan memutus di tingkat pertama perselisihan hak, di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan, di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja, , di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Dalam salinan permohonan yang diterima Minggu (5/5/2019), permohonan ini dilakukan diajukan oleh enam karyawan yang mendapatkan surat kuasa dari Anne Patricia Sutanto, Direktur PT Hollit International dan mendapatkan nomor registerasi perkara 34/PUU/XVII/2019.
Perusahaan itu sebelumnya mengalami sengketa hubungan industrial dengan salah seorang pekerja dan telah melalui serangkaian proses mulai dari perundingan bipartit, mediasi, dan berperkara pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Pada pengadilan hubungan industrial, majelis memutuskan untuk menolak gugatan [karyawan] seluruhnya dalam pokok perkara dan dalam rekonvensi mengabulkan gugatan rekonvensi untuk sebagian,” tutur para pemohon dalam surat permohonan.
Akan tetapi, dalam proses kasasi yang diajukan oleh karyawan tersebut, majelis kemudian mengabulkan permohonan itu dan membatalkan putusan peradilan sebelumnya yang menyatakan bahwa tergugat, PT Hollit International telah melanggar perjanjian bersama, melanggar ketentuan UU Ketenagakerjaan, membayar hak-hak pekerja dan menyatakan putus hubungan antara penggugat dan terggugat.
Atas putusan tersebut, PT Hollit International kemudian mengajukan permohonan peninjauan kembali karena merasa ada ketidaksempurnaan yang terjadi dalam putusan kasasi tersebut, akan tetapi, pihaknya kemudian menyadari bahwa secara implisit berdasarkan UU PPHI, tidak memberikan dasar hukum yang kuat pada proses peninjauan kembali.
Pasal 56 UU tersebut, hanya memberikan pijakan hukum bagi proses hukum biasa yakni pada peradilan hubungan industrial yang merupakan peradilan tingkat pertama, serta peradilan pada kasasi di Mahkamah Agung (MA).
“Dengan demikian pemohon menyimpulkan bahwa proses penyelesaian permasalahan hubungan industrial telah selesai, dan tidak ada kesempatan untuk mengajukan upaya hukum luar biasa sehingga kerugian konstitusional telah nyata dialami dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,” urai para pemohon.
Karena itu, pemohon meminta agar MK untuk menerima dan mengabulkan permohonan uji materi untuk seluruhnya, menyatakan bahwa Pasal 56 tersebut bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28 D ayat 1, dan melahirkan norma hukum luar biasa berupa peninjauan kembali dalam perselisihan hubungan industrial.