Kabar24.com, JAKARTA — Investigator Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengendus keanehan seputar impor garam industri dalam perkara kartel yang disidangkan lembaga itu.
Sebagaimana diketahui, para terlapor dalam perkara ini meliputi meliputi PT Garindo Sejahtera Abadi, PT Susanti Megah, PT Niaga Garam Cemerlang, PT Unicem Candi Indonesia, PT Cheetham Garam Indonesia, PT Budiono Madura Bangun Persada, serta PT Sumatraco Langgeng Makmur.
Dalam sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi, Rabu (10/4/2019), investigator menghadirkan Haris Junaidi Kepala Divisi Pemasaran PT Garam.
Dia menjelaskan bahwa pada 2015, produksi garam yang dilakukan oleh BUMN tersebut mencapai 350.000 ton. Akan tetapi, produksi saat itu, katanya, tidak mencapai kadar NaCl 97% yang dipersyaratkan untuk kebutuhan industri.
Akan tetapi, lanjutnya, pada tahun itu, pihaknya tidak mengimpor garam untuk kebutuhan industri dengan kadar NaCl 97% karena tidak ada permintaan garam jenis tersebut. Pada tahun-tahun sebelumnya, konsumen garam yang diimpor oleh PT Garam adalah sebagian besar dari tujuh terlapor dalam perkara kartel ini.
Sebagaimana diketahui, PT Garam diperbolehkan mengimpor garam dengan kadar tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 58/2012. Regulasi itu menegaskan bahwa yang berhak mengimpor garam adalah importir yang juga merupakan produsen garam.
Investigator KPPU Muhammad Nur Rofiq mengatakan bahwa ketiadaan permintaan tersebut menimbulkan pertanyaan. Padahal saat itu, yang mengimpor garam jenis tersebut adalah PT Garam, bukan langsung oleh pelaku industri.
“Kenapa tidak ada permintaan padahal Permendag 58 belum diubah menjadi Permendag 88 yang memperbolehkan pelaku industri boleh mengimpor garam untuk kebutuhan industrinya,” ujarnya seusai persidangan.
Berdasarkan catatan Bisnis, laporan investigator menyebutkan bahwa tujuh terlapor yang semuanya merupakan importir garam industri aneka pangan pada 2015 menyepakati alokasi impor garam tiap perusahaan kemudian mengajukan izin ke Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan. Pengajuan ini, menurut investigator didasarkan pada stok garam yang menipis dan mendekati ramadan.
“Pengajuan bersama-sama dan didahulu kesepakatan alokasi tidak sejalan dengan Permendag No 58/2012 karena berdasarkan aturan itu, tiap perusahaan mengajukan sendiri-sendiri kebutuhannya akan garam impor untuk industri. Kesepakatan itu diduga untuk mengatur produksi garam industri aneka pangan,” ungkapnya dalam persidangan.
Berdasarkan materi presentasi investigator, besaran alokasi impor garam industri sesuai kesepakatan adalah PT GSA sebanyak 122.208 ton, PT BHBP tidak mengalokasikan impor, PT SLM 55.000 ton, PT SM 55.00 ton, PT CGI 55.000 ton, PT UCI 27.000 ton, PT NGC sebesar 27.000 ton sehingga secara keseluruhan besaran impor yang disepakati adalah sebanyak 397.208 ton.
Permintaan itu kemudian disetujui oleh para pemangku kepentingan dengan memberikan persetujuan impor garam industri aneka pangan.
Menurut investigator, secara keseluruhan para terlapor memiliki menguasai 86% pangsa pasar. Jumlah itu menurutnya tergolong dominan dan tercermin dalam realisasi pasar pada kekuatan impor, serta angka penjualan.