Bisnis.com, JAKARTA -- Dalam debat putaran keempat yang berlangsung pada Sabtu (30/3/2019), baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto sama-sama mencuatkan kesan sebagai seorang Pancasilais. Tentu, sembari membuang tudingan sebagai pendukung kelompok yang dianggap anti Pancasila, yakni Hizbut Tahrir Indonesia juga Partai Komunis Indonesia.
Mula-mula, calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto menepis anggapan bahwa dia mendukung gerakan khilafah. Selama ini, gagasan khilafah dikenal sebagai jargon Organisasi Massa (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia atau HTI yang telah dibubarkan pemerintah.
Dia meminta Jokowi untuk menertibkan para pendukung di kubunya. Prabowo meminta dihentikan tudingan bahwa di balik gerbong politiknya terdapat kelompok pro khilafah yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Membalas jurus tersebut, Jokowi mengeluarkan unek-unek. Sembari memuji dan mempercayai Prabowo yang nasionalis kental dan patriotik serta berjiwa Pancasila, Jokowi menganggap tudingan yang dilontarkan kepada Prabowo sebagai hal yang ringan.
Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Keluarga Besar Nahdlatul Ulama kota Bandung berdemonstrasi menuntut pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Bandung, Jawa Barat, Kamis (13/4/2017)./Antara-Agus Bebeng
Baca Juga
Sebab, sebagaimana dituturkan Jokowi, selama naik pentas ke jagad perpolitikan nasional, dirinya juga dituding hal serupa, yakni keturunan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan otomatis anti Pancasila.
Keduanya pun seakan bersepakat untuk meniadakan stigma yang dianggap negatif, yaitu anti Pancasila.
Namun, tanpa sadar, keduanya kemudian melanggengkan pengkotakkan halal haram politik melalui stigma. PKI dan HTI, silakan minggir.
Sepanjang sejarah, Pancasila sebagai ideologi negara telah memantik banyak perdebatan sekaligus memicu rentetan peristiwa. Melayangkan pandang kepada peristiwa masa lalu, sebenarnya isu komunis (PKI) dan negara Islam (HTI) berjejak hingga masa awal republik berdiri, di mana Pancasila dilahirkan.
Menengok surat wasiat Hatta kepada Guntur Soekarno tertanggal 16 Juni 1978, seperti dikutip Bisnis pada Selasa (2/4), awal lahir Pancasila diharapkan para pahlawan bangsa untuk menjaga kelanggengan Indonesia. Di sana tertulis pada akhir Mei 1945, dr. Rajiman selaku Ketua Panitia Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (PPKI), menyorongkan soal kepada anggota terkait dasar negara.
Tak satu pun menjawab, terang Hatta, para anggota menghindari kemungkinan perdebatan filosofis yang berkepanjangan. Namun, tidak bagi Soekarno, pada 1 Juni 1945 itulah, Pancasila atau Lima Sila itu dikumandangkan untuk kali pertama.
Lantas, PPKI pun membentuk Tim 9 yang terdiri atas Hatta, Abdulkahar Muzakir, Agus Salim, Ahmad Soebardjo, Wahid Hasyim, Yamin, AA Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, serta Soekarno. Tim ini kemudian menggodok Pancasila hingga final, dengan menghapus tujuh kata yaitu “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi Pemeluknya.”
Dalam surat kepada Guntur itu, Hatta menyebutkan penghapusan tujuh kata tersebut berasal dari pertimbangan agar tidak ada pembedaan sebagai warga negara, antara umat Islam dengan umat lainnya. Versi Pancasila sebelum penghapusan tujuh kata itu dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, di sanalah benih virus gerakan Islam garis keras.
Babak akhir Pancasila tentunya dijadikan sebagai satu kesatuan dokumen negara bersama Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
“Pada 29 Agustus 1945, Komite Nasional dalam rapatnya yang pertama sudah mengesahkan UUD yang diterima oleh PPKI dan sekarang sudah menjadi UUD negara kita lagi,” tulis Hatta dalam surat yang terlampir dalam Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, Edisi Revisi.
Gonjang-ganjing politik aliran yang menyerang Pancasila versi final pun menghantam republik muda, virus Islam garis keras mulai merongrong. Pada era 1950-an, meletus pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwiryo.
Tidak hanya itu, aksi teror yang mengincar nyawa Soekarno dilancarkan beberapa kali, misalnya pada pelemparan granat di Cikini, hingga penembakan saat Iduladha di halaman Istana Merdeka, Jakarta. Sebagai gembong DI/TII, Kartosuwiryo kemudian ditangkap dan divonis mati.
Pada masa krusial itu, meletup pula pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dan Perjuangann Rakyat Semesta (PRRI/Permesta) yang terjadi di Sumatra dan Sulawesi. Pemberontakan ingin mendongkel kekuasaan Soekarno, ditengarai elit Partai Sosialis Indonesia (PSI) seperti Sumitro Djojohadikusumo dan tokoh Partai Masyumi antara lain M. Natsir, berada di balik gerakan tersebut.
Suasana kantor DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di Menteng Dalam, Tebet, Jakarta, Senin (8/5/2017)./Antara-Aprillio Akbar
Setelah pemberontakan dipadamkan, Soekarno meminta PSI dan Masyumi membubarkan diri. Benang merah dari rentetan peristiwa tersebut adalah “Bung Besar” pernah menggunakan cara keras sewaktu terjadi agresi terhadap pemerintahan dengan cara militer.
DI/TII, PSI, dan Masyumi menerima ganjaran. Selaku generasi awal sekaligus “bidan” lahirnya Pancasila, era tersebut belum terjangkiti alergi ideologi; mulai dari haluan nasional seperti PNI, Islam modern yakni Masyumi, Islam tradisional diwakili NU, sosialis demokrat dari PSI, hingga komunis, ramai menyemarakkan pesta demokrasi di negara berideologi Pancasila ini.
Masa itu, Pancasila tidak dijadikan godam yang membenamkan lawan politik. Adapun perdebatan terkait kepemimpinan tunggal Soekarno, hal tersebut mendapat kritik pedas dari Hatta. Demokrasi Terpimpin yang diperkenalkan Bung Besar disebut sebagai pembunuh demokrasi oleh salah satu dwitunggal proklamator tersebut.
Di sisi lain, era Orde Baru berlainan haluan sikap. Pancasila seolah dijadikan alat mengepruk lawan politik, yang diabsahkan dengan proses stigmatisasi.
Dalam makalah berjudul Pancasila dan Hak Asasi Manusia dan Ketahanan Nasional yang diterbitkan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 2016, mantan Ketua Komnas HAM Otto Syamsuddin Ishak mengungkapkan pada masa Orde Baru, politik stigma digunakan untuk para pengkritik kebijakan pemerintah.
Kelompok yang memprotes dicap tidak Pancasilais. Dia menulis bahwa kelompok masyarakat yang menentang proyek-proyek pembangunan dianggap sebagai musuh negara, tidak Pancasilais, dan oleh karena itu mereka dikenakan pasal subversif. Dengan dalih Persatuan Indonesia, amanat sila ketiga Pancasila.
Tidak hanya itu, rezim Orde Baru disebut memberangus berbagai perbedaan di masyarakat yang dianggap mengancam stabilitas politik.
“Persatuan yang keblinger, meminjam kata Soekarno, akan menimbulkan persatean. Rezim politik yang dipimpin Soeharto ini menciptakan gaya politik otoritarian yang melanggengkan kekerasan secara sistematis,” tulis Otto.
Bahaya Stigma
Penggunaan stigma anti Pancasila dinilai sangat berbahaya. Kelompok masyarakat mudah dianggap sebagai pendukung komunis atau sebaliknya, pro khilafah.
HTI sebagai Ormas pun telah menemukan ajal. Presiden Jokowi mengesahkan pembubaran itu dengan menerbitkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), karena HTI dinilai anti Pancasila dengan ideologi khilafah atau semangat menciptakan negara Islam.
Sebaliknya, stigma anti Pancasila lainnya mendera Heri Budiawan alias Budi Pego, seorang penentang tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Pada April 2017, dia memotori protes warga terhadap keberadaan tambang di wilayah Tumpang Pitu.
Pegawai memasang gambar pahlawan revolusi di halaman Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jumat (29/9/2017). Pemasangan gambar tersebut dalam rangka menyambut Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober../Antara-M. Risyal Hidayat
Namun, Budi Pego malah dituding menyebarkan komunisme dan mengibarkan bendera berlambang Palu Arit.
Hingga kini, nasibnya masih dikungkung tuntutan pidana. Stigma PKI pun menjerat Budi Pego yang mengawal warga melakukan protes.
Puri Kencana Putri dari Amnesty International menganggap politik stigma ini berbahaya, tapi terus dimainkan para petarung politik nasional demi jabatan presiden.
“Hal ini banyak disoal kelompok HAM,” ungkapnya, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, perdebatan capres pada akhir pekan lalu, dipandang kian menguatkan politik stigma yang berbahaya dan berpotensi memicu pelanggaran HAM.
“Hingga kini, seperti pembubaran HTI, itu alas hukumnya seperti apa, begitupun stigma PKI, ini mengapa masih dilanggengkan,” sesal Puri.
Dia memandang selayaknya perdebatan ideologi Pancasila mengetengahkan persoalan faktual yang tengah terjadi di masyarakat. Adapun problem utama yang dinilai mengancam Pancasila yaitu intoleransi yang kian menguat, seperti ancaman kebebasan beragama.
“Hingga kini, stigma PKI memakan korban banyak, ada yang tetap dicap demikian di lingkungan sosial, para korban telah bertemu Jokowi, tetapi jawabannya malah menguatkan stigma,” ungkap Puri.
Dia menilai wujud operasionalisasi ideologi terletak pada pelaksanaan hukum yang benar dan adil. Misalnya, sewaktu Mabes Polri ingin membubarkan Front Pembela Islam (FPI), pihaknya menentang karena tidak ada landasan hukum yang kuat, terlebih di era Reformasi.
“Yang ada, jika ada tindakan melanggar hukum, hal itu harus ditegakkan aparat, bukan membubarkan dengan stigma,” simpul Puri.
Demi Elektoral
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana menyimpulkan saling serang dan klarifikasi terkait jubah ideologi masing-masing capres tak lain merupakan jualan mendulang hasil elektoral.
“Ini terlihat dari pernyataan saya bukan PKI [Jokowi], saya Muslim tapi dari keluarga Nasrani [Prabowo], malah menguatkan politik stigma dan identitas yang diharapkan mampu dijual,” katanya.
Massa yang tergabung dalam Forum Umat Islam, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan MUI Kota Bogor melakukan aksi penolakan terhadap paham komunis PKI di Gedung DPRD Kota Bogor, Jawa Barat pada 2015./Antara
Di sisi lain, Aditya memandang perdebatan ideologi dari debat capres masih menyentuh permukaan. Padahal, secara esensial, permasalahan Pancasila saat ini yaitu menguatnya intoleransi dalam beragama ataupun bersosial.
“Mereka menghindari persoalan ini karena pastinya bakal memicu keriuhan,” ucapnya.
Terkait ideologi, Puri mengingatkan, dalam perdebatan kedua capres, adanya potensi untuk kembali menjadikan tafsir tunggal Pancasila ataupun jargon politik yang mencerminkan ideologi tertutup. Hal ini disebut berbahaya jika mengarah kepada kesan ultranasionalis.
“Sayangnya, dengan jargon NKRI harga mati, Pancasila harga mati, tidak ada koreksi terhadap operasi militer di Nduga, Papua ataupun pembunuhan anak di Paniai yang sesuai komitmen Jokowi akan diusut tuntas,” tegasnya.
Setidaknya, generasi terdahulu telah memberikan banyak pelajaran, bahwa Pancasila sesungguhnya ikhtiar bersama untuk bangsa ini. Jika pada 1955 saja, Indonesia bisa melangsungkan pesta demokrasi bersama banyak partai dengan warna berbeda, mengapa kini muncul kembali politik stigma?