Bisnis.com, JAKARTA – Kasus penculikan dan penghilangan aktivis prodemokrasi di zaman Orde Baru mencuat lagi, jadi komoditas politik lantaran salah satu yang tersangkut kini kembali mencalonkan diri sebagai calon presiden.
Dokumen rahasia Kedutaan Besar AS yang dirilis ke publik mengungkapkan bahwa mantan Komandan Jenderal Korps Pasukan Khusus (Kopassus) Prabowo Subianto terlibat dalam penculikan aktivis pro-demokrasi di era 1998. Hal itu didasarkan sumber mahasiswa.
Dugaan keterlibatan Prabowo itu tercantum dalam dokumen yang dirilis oleh National Security Archive, The George Washington University, tertanggal 7 Mei 1998.
Wacana kasus penghilangan paksa terhadap puluhan aktivis pada 1998 itu mencuat lagi lantaran kasus ini belum tuntas secara hukum.
Padahal menurut Deputi Direktur Riset Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, pada 2009 Komnas HAM sudah memberikan rekomendasi atas penyelidikan kasus penghilangan terhadap para aktivis itu ke Kejaksaan Negeri dan DPR.
“Ketika itu DPR bentuk Pansus dan mengeluarkan rekomendasi atas hal itu,” kata Wahyudi dalam pesan tertulis, Jumat (15/3/2019).
Ada empat rekomendasi hasil Pansus DPR. Pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI, institusi pemerintah, dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang hingga saat ini.
Ketiga, merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.
Sayangnya, hasil dari rekomendasi Pansus DPR itu belum berjalan hingga saat ini. Dengan begitu, tak ada bukti legal yang bisa menghalangi Prabowo maju lagi sebagai kandidat dalam kontestasi Pilpres 2019. KPU pun tak punya alasan.
“Karena ketika itu kasus Prabowo selesai di Dewan Perwira, dia diberhentikan. Termasuk juga Tim Mawar, ada yang diberhentikan karena hanya etik saja,” katanya.
Seperti halnya pada 2014, saat itu rekomendasi atas temuan Komnas HAM selalu berhenti ketika musim pemilu tiba. Setelah 5 tahun pun belum ada tindaklanjut lagi.
“DPR juga belum ada membahas tindaklanjut, sehingga KPU tidak bisa berbuat apa-apa karena kasus pelanggaran HAM berat itu belum dibuktikan secara hukum,” imbuhnya.
Ke depan dia berharap, empat rekomendasi yang telah dilahirkan Pansus DPR itu dijalankan. Itu semua agar semua pihak, baik keluarga korban bisa mendapatkan kepastian.