Kabar24.com, JAKARTA — Pemilik saham terpaksa menempuh skenario pembubaran perseroan terbatas yang tidak aktif sesuai dengan ketentuan UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT.
Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan dalam Putusan MK No. 63/PUU-XVI/2018 bahwa pemegang saham tidak berhak memberitahukan status nonaktif PT kepada instansi pajak. Surat keterangan tidak aktif dari instansi pajak merupakan syarat materiil dalam permohonan pembubaran PT via pengadilan negeri (PN).
Muhammad Rudjito, kuasa hukum PT Baraventura Pratama (BVP) yang menjadi pemohon gugatan UU PT, mengatakan kliennya hanya menghendaki pembubaran anak perusahaan yang sudah tidak aktif. Pemegang saham berinisiatif menyurati instansi pajak karena masa jabatan direksi sudah habis.
"Problemnya kan hanya untuk pemberitahuan. Kalau sudah tidak aktif untuk apa dipertahankan," ujarnya usai sidang pembacaan putusan di Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Rudjito menghormati putusan MK yang menolak permohonan kliennya. Namun, dia mengaku akan mempelajari putusan tersebut untuk menentukan langkah selanjutnya mengenai rencana pembubaran anak perusahaan BVP, PT Artha Komoditi & Energy Services (AKES), yang sudah tidak aktif berusaha selama lebih dari 3 tahun.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT, perseroan dapat bubar melalui keputusan RUPS, jangka waktu berdiri berakhir, penetapan pengadilan, dicabutnya izin, dan faktor pailit. PN juga dapat membubarkan perseroan—seperti tercantum pada Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT—atas permohonan pemegang saham, direksi, atau dewan komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin dilanjutkan, salah satunya karena nonaktif lebih dari 3 tahun.
Sebagai pemilik 50% saham AKES, BVP mengajukan permohonan pembubaran ke PN Jakarta Pusat pada 2015. Kepada pemohon, PN meminta bukti surat pemberitahuan kepada instansi pajak bahwa perusahaan tidak aktif. Surat pemberitahuan kepada instansi pajak tersebut diajukan oleh pemegang saham mengingat masa jabatan direksi sudah berakhir.
Namun, PN menganggap hanya direksi yang berhak menyurati instansi pajak. Permohonan BVP pun dinyatakan tidak diterima oleh PN pada 2016 dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung.
Tidak puas, BVP mengajukan permohonan uji materi Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c butir a UU PT ke MK karena dianggap membentuk norma baru di luar batang tubuhnya. BVP meminta MK membolehkan pemegang saham atau komisaris untuk memberitahukan kepada instansi pajak tentang tidak aktifnya perseroan sehingga pemohon dapat mengajukan pembubaran PT ke PN.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan fungsi direksi sebagai organ yang mewakili PT tetap eksis sebelum perseroan dinyatakan bubar oleh PN. Karena itu, pemegang saham atau komisaris tidak dapat mengajukan surat pemberitahuan kepada instansi pajak.
Dia mengakui bahwa bukan mustahil direksi menolak mengajukan surat permohonan tersebut. Meski demikian, tambah Suhartoyo, pemegang saham dapat menggunakan mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) atau komisaris memanfaatkan mekanisme pengawasan untuk memerintahkan direksi.
"Sepanjang kewenangan masih melekat pada direksi dan tidak dicabut RUPS, berkenaan dengan subjek hukum, hanya subjek hukum direksi sebagai organ perseroan yang berwenang untuk itu," ujarnya saat membacakan pertimbangan Putusan MK No. 63/PUU-XVI/2018.
Suhartoyo menambahkan sikap MK mempertahankan kewenangan direksi akan memperkuat prinsip-prinsip tata kola perseroan. Jangan sampai, kata dia, pembubaran PT dilakukan tanpa soliditas intenal.