Bisnis.com, JAKARTA - Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) M.S. Karliansyah menegaskan bahwa udara Ibu Kota Jakarta tergolong masih baik dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia yang disergap polusi udara.
“Kami punya alat pemantau kualitas udara dan hasil pemantauan alat kami memperlihatkan kualitas udara Jakarta cukup baik. Karena itu, laporan Greenpeace yang menyebut kualitas udara Jakarta terburuk se-Asia Tenggara, tidak tepat,” tegas Karliansyah dalam keterangan pers, Selasa (12/3/2019).
Dalam keterangan pers yang didampingi Direktur Pengendalian Pencemaran Air Luckmi Purwandari dan Sekretaris Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro, Dirjen Karliansyah menunjukkan sejumlah data untuk membantah laporan Greenpeace tersebut.
Belum lama ini, Greenpeace berdasarkan laporan dari World Air Quality Report merilis data kualitas udara Jakarta yang disebutnya terburuk se-Asia Tenggara. Disebutkan, konsentrasi PM 2,5 pada 2018 tingkat polusinya mencapai 45,3 g/m3. Artinya, konsentrasi PM 2,5 di Jakarta sampai empat kali lipat dari batas aman tahunan menurut standar WHO yakni 10 g/m3.
Untuk meluruskan laporan Greenpeace tersebut, Karliansyah menegaskan bahwa kualias udara Jakarta masih cukup baik, tidak seperti diungkap Greenpeace.
"Memang kami merekam pada 2018, ada hari yang tidak baik. Dari 365 hari, ada 196 hari kualitas udara buruk dan 34 hari kualitas udara baik. Sisanya kualitas udara sedang. Ada tapi kalau dikatakan terburuk, terjelek di Asia Tenggara tidak. Begitu juga kualitas udara rata-rata harian di Jakarta masih baik, tidak seperti yang dipaparkan Greenpeace," papar Karliansyah.
Dia menjelaskan dari data harian Jakarta itu 57, kalau WHO itu 25 mikogram. "Standar nasional kita masih baik mutu."
Karena itu, Karliansyah mempertanyakan alat ukur yang dipakai oleh Greenpeace. Pasalnya, berdasarkan alat yang dipakai untuk pemantauan kondisi udara dengan PM 2,5 tidak seburuk itu.
"Saya dan teman-teman di sini bertanya Greenpeace pakai data apa, metode dan instrumen apa, karena kami yakin beliau-beliau pernah ke sini dan kami ajak ke lantai tiga di AQMS Center atau jaringan pemantau kualitas udara," katanya.