Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OPINI : Jangan Abaikan Posisi Tawar Politik Petani di Pemilu

Akankah petani 'menghukum' Jokowi dengan mengalihkan pilihan seperti di India? Atau terpikat janji Prabowo? Pilihan politik petani layak ditunggu 17 April nanti.
Petugas logistik KPU Pusat memeriksa surat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 untuk pemilih luar negeri di gudang logistik KPU di Benda, Tangerang, Banten, Kamis (7/2/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal
Petugas logistik KPU Pusat memeriksa surat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 untuk pemilih luar negeri di gudang logistik KPU di Benda, Tangerang, Banten, Kamis (7/2/2019)./ANTARA-Muhammad Iqbal

Bisnis.com, JAKARTA – Seperti di Indonesia, India bakal menggelar pemilihan umum tahun ini. Rakyat India bakal menentukan siapa pemimpinnya ke depan pada Mei 2019. Seperti di Indonesia, dua calon perdana menteri di India, yakni Narendra Modi dari Bharatita Janata Party (BJP) dan Rahul Gandhi dari Partai Kongres (INC), berebut suara pemilih. Pelbagai cara ditempuh. Yang terbaru BJP memberikan emas senilai US$530 atau sekitar Rp7,4 juta bagi keluarga miskin. Ini dilakukan negara bagian Assam yang dipimpin oleh BJP. Emas diberikan agar warga miskin di Assam mau datang memberikan suara dan memilih BJP dalam Pemilu.

Pemerintah federal India juga memberikan bantuan langsung tunai kepada petani dan potongan pajak untuk rakyat level menengah ke bawah. Pada 7 Februari 2019, untuk pertama kalinya sejak tahun 2017 Bank Cadangan India (RBI) memangkas suku bunga pinjaman. Harapannya, pertumbuhan ekonomi India bakal terdorong.

Cara ini ditempuh lantaran selama Modi memerintah penghasilan petani terpuruk dan peluang kerja semakin sempit. Harapannya, pemilih BJP pada 2014 tidak berpaling ke oposisi pada Pemilu Mei nanti. Tidak mau kalah, Partai Kongres berjanji memberikan pinjaman kepada petani dan bantuan tunai untuk warga pengangguran di beberapa negara bagian yang dikuasainya.

Sinyal kekalahan Modi ada di depan mata. Pada pemilihan anggota DPRD di tiga negara bagian -di Hindi Madhya Pradesh, Rajasthan, dan Chhattisgarh-pada Desember 2018 lalu, oposisi menang telak. Padahal, tiga negara bagian itu merupakan benteng pertahanan utama BJP. Hasil pemilu ini jadi cermin meningkatnya kekecewaan atas kinerja partai BPJ, baik di New Delhi maupun di daerah-daerah yang menjadi basis kekuasaannya.

Salah satu alasan kekalahan BJP adalah kebijakannya yang mengabaikan sektor pertanian. Padahal, 60% penduduk India bergantung pada sektor tersebut sebagai sumber penghasilan utama. Dengan adanya gagal panen, skema asuransi hasil pertanian yang lebih berpihak pada perusahaan asuransi dibandingkan kepada petani, kurangnya perhatian pada irigasi, masalah kredit, harga hasil pertanian, hingga masalah input, telah menyebabkan peningkatan tertinggi atas jumlah petani yang bunuh diri di India.

Selain itu, akibat kekeliruan kebijakan BJP, yakni demonetisasi 2016, membuat dukungan ke petahana melemah. Kebijakan ini telah jadi bencana bagi ekonomi India. Diperkirakan, akibat kebijakan tersebut pertumbuhan ekonomi India terpangkas 1,5% dari PDB. Kebijakan itu memukul pendapatan warga perdesaan dan pekerja upahan yang sangat bergantung pada aliran dana tunai. Pekerja petani miskin bahkan belum bisa pulih akibat kebijakan ini. UMKM, yang jadi tulang punggung perekonomian India, juga banyak yang gulung tikar akibat kebijakan demonetisasi dan tidak pernah mampu bangkit lagi sehingga jutaan orang jadi terlempar ke jurang pengangguran (Winarno, 2019).

Serupa dengan India, dari sisi jumlah petani di Indonesia memiliki posisi penting. Pelaku politik tahu pertanian masih jadi rebutan 30% tenaga kerja, dan ditekuni 27,68 juta rumah tangga petani dengan jumlah anggota keluarga mencapai 98,3 juta jiwa (BPS, 2018).

Petani dan pertanian adalah lumbung suara yang bisa menyediakan tiket guna menduduki kursi presiden/wakil presiden dan kursi legislatif. Karena itu dalam kampanye Pemilu 2019, para kandidat -apakah presiden/wakil presiden dan caleg-tidak absen mengangkat harga kebutuhan pokok, nasib petani dan kedaulatan pangan sebagai jualan.

Dalam konteks ini bisa dipahami calon presiden petahana, Presiden Jokowi, menemui petani tebu di Istana, 7 Februari 2019, dan berjanji menaikkan harga pembelian gula.

Selama empat tahun (2014-2018) memerintah, sejumlah hal telah dilakukan duet Jokowi-Jusuf Kalla: meningkatkan anggaran ketahanan pangan hingga Rp408,9 triliun (BPK dan Kemenkeu, 2014-2018) di luar anggaran infrastruktur pertanian dan program reforma agraria; merehabilitasi jutaan hektare jaringan irigasi; membangun waduk, dam, dan embung; mencetak sawah baru dan melakukan program reforma agraria.

Peningkatan produksi dilakukan melalui upsus pajale (upaya khusus padi, jagung, kedelai), subsidi pupuk dan benih, dan bagi-bagi alat dan mesin pertanian. Struktur pasar dibenahi dengan membentuk Satgas Pangan, kebijakan harga eceran tertinggi (HET), Toko Tani Indonesia dan kebijakan tim Sergap untuk meningkatkan serapan gabah dan beras oleh Bulog.

Sasaran program periode 2015-2019 adalah mencapai swasembada pajale serta peningkatan produksi daging sapi, dan gula (Renstra Kementan 2015-2019). Sejauh ini swasembada padi telah tercapai, yang menurut BPS, ada surplus 3,1 juta ton beras pada 2018. Capaian serupa "di atas kertas" juga terjadi pada jagung. Sedangkan swasembada kedelai justru semakin menjauh. Produksi gula dan daging sapi tidak beranjak membaik. Ketergantungan impor kedua komoditas itu tetap tinggi. Volume impor 21 komoditas subsektor tanaman pangan terus meninggi: dari 18,17 juta ton pada 2014 menjadi 22,12 juta ton pada 2018. Ini yang membuat defisit perdagangan pertanian kian menciut.

Bagaimana kesejahteraan petani? Jika nilai tukar petani (NTP) dijadikan acuan, selama 4 tahun pemerintahan Jokowi (Oktober 2014 - Oktober 2018), NTP naik amat lambat, bahkan stagnan: dari 101,4 pada Oktober 2014 jadi 102,1 pada Oktober 2018. Sejak Oktober 2014, NTP rendah pernah terjadi pada Mei 2015 (100,02) dan Maret 2017 (99,95).

Dari 4 subsektor (tanaman pangan, peternakan, hortikultura dan perkebunan), kinerja terbaik hanya terjadi pada subsektor peternakan: rata-rata 107,2 dan tidak pernah di bawah 100. Disusul subsektor hortikultura, tanaman pangan, dan perkebunan. Selama 2 tahun dari 4 tahun, petani tanaman pangan NTP-nya di bawah 100 alias tekor. Bahkan, akibat pasar komoditas di pasar dunia yang lesu, petani perkebunan hanya merasakan NTP di atas 100 selama 4 bulan dari 48 bulan selama 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK.

Kini, dua pasangan capres-cawapres, Jokowi-Amin dan Prabowo-Sandi, berebut suara petani. Lewat debat putaran kedua bertema "Energi, Pangan, Infrastruktur, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup", 17 Februari 2019, keduanya telah menebar janji-janji untuk mensejahterakan petani dan membuat Indonesia berdaulat pangan.

Jokowi-Amin bakal meneruskan peta jalan yang sudah dilakukan 4 tahun terakhir. Sementara Prabowo-Sandi berjanji menempuh strategi berbeda dari petahana, meski tidak jelas apa bedanya.

Akankah petani 'menghukum' Jokowi dengan mengalihkan pilihan seperti di India? Atau terpikat janji Prabowo? Pilihan politik petani layak ditunggu 17 April nanti.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Sabtu (9/3/2019)





Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper