Bisnis.com, JAKARTA - Direktur PT MMHL Yu Jing melalui kuasa hukumnya Teguh Samudra mengaku kecewa dengan sikap penegak hukum di Indonesia yang dinilai telah mengkriminalisasi kliennya karena menjual saham di perusahaan yang didirikannya sendiri di Kalimantan Selatan.
Teguh menjelaskan bahwa kliennya telah sepakat untuk menjual 51% saham kepada perusahaan asal Singapura bernama ARL senilai US$153 juta pada 2015. Kemudian, pembelian saham sebesar US$153 juta tersebut juga akan dibayarkan secara bertahap pada akhir 2015-awal 2016 dari PT ARL kepada PT MMHL untuk pertambangan batubara di Sungai Pinang, Banjar, Kalimantan Selatan.
"ARL ini baru mengirimkan dana pembelian saham sebesar US$30 juta secara bertahap. Dana itu juga baru digunakan PT MMHL untuk operasional," tutur Teguh saat dikonfirmasi, Rabu (6/3/2019).
Dana tersebut, menurutnya telah dikirimkan PT ARL kepada PT MMHL ke dalam rekening yang dibuat PT ARL sendiri tanpa sepengetahuan kliennya. Teguh menjelaskan pada Juni 2016, PT ARL melaporkan Yu Jing atas tuduhan penggelapan uang.
"Sebelumnya, kantor dan tambang milik Pak Yu Jing juga telah direbut dan dikuasai secara paksa oleh PT ARL, sehingga pemilik resmi dan karyawan tidak bisa masuk untuk melakukan aktivitasnya," katanya.
Padahal, Teguh Samudera menjelaskan bahwa perusahaan milik Yu Jing itu sudah membuahkan hasil tambang cukup besar dan berhasil memproduksi 1-2 juta metrik ton hasil tambang per bulan di Kalimantan Selatan. Kini, perkara tersebut sudah masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, menurutnya, Yu Jin dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan tuntutan maksimal yaitu 5 tahun kurungan penjara atas tuduhan yang dilayangkan PT ARL.
"Justru Pak Yu Jing ini telah berhasil menemukan tambang batubara di Kalimantan Selatan dan telah mengeluarkan biaya cukup besar sejak beberapa tahun lalu," ujar Teguh.
Dia berharap pemerintah tidak menutup mata terkait perkara yang menjerat kliennya. Pasalnya, jika kasus itu kembali lagi terjadi di kemudian hari, maka dia memprediksi investor asing akan kabur dan tidak mau lagi berinvestasi di Indonesia karena khawatir akan dikriminalisasi.
"Tuntutan JPU cukup maksimal yaitu 5 tahun penjara dan ini juga yang mengherankan tuntutannya sama sekali tidak ada unsur yang meringankan dan yang lucu adalah tindakan klien saya dianggap merugikan investor asing. Justru klien kami adalah investor asing yang dirugikan karena dikriminalisasi, jadi bagaimana investor asing mau masuk ke Indonesia kalau begini," tuturnya.