Bisnis.com, JAKARTA - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan justice collaborator (JC) yang diajukan terdakwa Eni Maulani Saragih atas kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Hakim Anggota Anwar mengatakan berdasarkan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK, terdakwa Eni Maulani Saragih disebut memang telah mengakui perbuatannya, memberikan kesaksian untuk mengungkap pelaku lain dan mengembalikan uang.
Namun, salah satu syarat untuk menjadi justice collaborator bukanlah pelaku utama. Oleh karena itu, Eni Saragih belum memenuhi syarat pelaku yang bekerja sama atau justice collaborator.
"Terdakwa juga berperan aktif fasilitasi pertemuan antara Kotjo dan Dirut PLN Sofyan Basir, maka majelis tidak mempertimbangkan permohonan justice collaborator," kata Hakim Anggota Anwar membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor, Jumat (1/3/2019).
Kendati tidak mempertimbangkan permohonan JC, majelis hakim tetap mengapresiasi sikap kooperatif Eni Saragih dan berlaku sopan selama persidangan. Pertimbangan tersebut menjadi alasan untuk meringankan hukuman bagi Eni Saragih.
"Majelis hakim apresiasi sikap Eni yang sopan, kooperatif dan menyerahkan uang serta mengakui perbuatan dengan terus terang sehingga menjadi alasan meringankan hukuman pidana," ujar hakim Anwar.
Baca Juga
Sementara itu, Eni Saragih mengaku telah ikhlas atas putusan majelis hakim. Kendati sejak awal berharap permohonan JC dikabulkan lantaran dirinya bersikap kooperatif atas kasus ini. Namun, menurutnya, majelis hakim menganggap lain.
"Tadi saya sudah bilang, apapun hasilnya dalam hati saya, sejak dari rutan sampai ke sini [pengadilan], saya harus ikhlas menerima putusan, bahwa ini adalah takdir yang harus saya jalani," ujar Eni.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsidair 2 bulan kurungan kepada terdakwa mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eni Maulani Saragih atas kasus suap proyek PLTU Riau-1.
Eni terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 B ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Eni Maulani Saragih telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama," Kata Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakaan amar putusan, di Pengadilan Negeri Tipikor, Jumat (1/3/2019).
Eni terbukti menerima suap dari pengusaha sekaligus pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd Johanes Budisutrisno Kotjo senilai Rp4,75 miliar serta gratifikasi senilai Rp5,6 miliar dan SG$40.000 dari sejumlah direktur perusahaan minyak dan gas (Migas).
Hakim menyebut Eni menerima gratifikasi masing-masing Rp250 juta dari Direktur PT Smelting Prihadi Santoso, Rp100 juta dan SG$40.000 dari Direktur PT One Connect Indonesia (OCI) Herwin Tanuwidjaja, Rp5 miliar dari pemilik PT Borneo Lumbung Energy & Metal Samin Tan, dan Rp250 juta dari Presiden Direktur PT Isargas Iswan Ibrahim.
Hakim juga meminta Eni Saragih membayar uang pengganti senilai Rp5,087 miliar dan SG$40.000.
Apabila tidak disanggupi dalam satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), KPK berhak menyita harta benda dan pidana 6 bulan kurangan jika harta benda tersebut belum mencukupi.
Tak hanya itu, Majelis Hakim juga mencabut hak politik Eni selama 3 tahun, yang dihitung sejak Eni selesai menjalani pokok pidana.
Vonis ini sebetulnya lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum KPK yakni 8 tahun penjara dan pidana denda Rp300 juta, subsider 4 bulan kurungan, pidana tambahan sejumlah uang pengganti Rp10,35 miliar dan SG$40.000 serta pencabutan hak politik 5 tahun.