Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jusuf Kalla, Wakil Presiden yang Berani Kritik Pemerintah

Wakil Presiden Jusuf Kalla merupakan politisi kawakan. Saat yang sama, Jusuf Kalla merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar melalui konglomerasi bisnis keluarganya di Indonesia bagian Timur.
Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) saat meninjau pengoperasian MRT (Mass Rapid Transit) di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Rabu (20/2/2019)./ANTARA-Dhemas Reviyanto
Wakil Presiden Jusuf Kalla (tengah) didampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (kiri) dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (kanan) saat meninjau pengoperasian MRT (Mass Rapid Transit) di Stasiun MRT Bundaran HI, Jakarta, Rabu (20/2/2019)./ANTARA-Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK)  merupakan politisi kawakan. Saat yang sama, Jusuf Kalla merupakan sosok yang memiliki pengaruh besar melalui konglomerasi bisnis keluarganya di Indonesia bagian Timur. 

Kepiawaiannya dalam politik terlihat dengan keberhasilannya menjadi Ketua Umum Partai Golkar di 2004. JK berhasil mengambil alih partai politik penyokong Orde Baru itu beberapa bulan setelah ia memenangkan pemilihan umum. Saat itu, JK maju dalam kontestasi Pemilihan Presiden berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai wakil presiden.

Banyak yang menyangka pamor JK meredup setelah kalah dalam pemilihan presiden seta melepaskan jabatan Ketua Umum Golkar pada suksesi 2009. Namun, JK  menunjukan kepiawaiannya.

Dalam Pemilihan Presiden 2014, ia secara mengejutkan kembali tampil sebagai wakil presiden berpasangan dengan Joko Widodo (Jokowi). Pasangan ini memenangkan pertarungan dengan memperoleh suara di atas 53,15% mengalahkan Prabowo yang berpasangan dengan Hatta Rajasa. 

Meski begitu terdapat satu persamaan sepanjang perjalan karir politik, pemerintahan maupun pemerintahan. JK selalu konsisten menunjukan sikap yang objektif. Ia akan dengan terbuka menyebutkan ada sebuah kekeliruan yang terjadi. Bahkan dalam pemerintahan yang ia pimpin.

Pengusaha kawakan Chairul Tanjung (CT) menyampaikan langsung kebingungannya akan sikap JK. Satu sisi dapat membela pemerintah dengan sikap yang unik, tapi pada saat  lain ia dapat mengkritik pemerintah dengan dengan tajam. 

"Pak JK ini dalam pemerintahan namun gayanya unik. Contoh saat ada yang bilang jalan tol tarifnya mahal. Para menteri dan pejabat terkait selalu menjawab normatif. Akan tetapi Pak JK menjawab dan membungkam pengkritik. '

"Ya jangan lewat tol'," kata CT di Jakarta, Kamis (28/2/2019). 

Meski begitu, CT menyebut JK sebagai wakil presiden, juga terbuka mengkritik proyek-proyek infrastruktur yang menelan biaya sangat mahal atau tidak memiliki konsep menyeluruh. Misalnya kereta Trans Sulawesi, LRT Jabotabek hingga LRT di Palembang.

Menanggapi pertanyaan ini, JK menyebut dalam bersikap ia ingin objektif. Sebuah kebijakan dapat dievaluasi dan terus diperbaiki. 

"Saya ingin objektif, bahwa pemerintah bisa keliru, sehingga harus diperbaiki," katanya.

JK menyebut kritik untuk jalan tol dari pengkritik sama sekali tidak relevan. Pasalnya terdapat jalan nasional yang dapat dilewati.

"Misal jalan tol bagi pengusaha seharusnya tidak jauh beda antara tol dan bukan tol. Costnya rendah," ujar JK.

Kritik yang muncul atas jalan tol, menurut JK hanya dari logika sederhana terkait biaya perjalanan. Padahal, secara kecepatan maupun biaya perjalanan sama sekali tidak berbeda karena pengusaha diuntungkan dari bahan bakar maupun waktu tempuh. 

Sementara kritik terhadap pembangunan LRT sudah disampaikan ke kementerian teknis sejak 3 tahun lalu. Kebijakan ini sangat mahal karena dibangun melayang. Sementara untuk LRT Sumatra Selatan, pembangunan atas permohonan dan jaminan pemerintah daerah, namun setelah dimulai ternyata tidak sanggup dan harus diambil alih melalui APBN.

"Karena membangun kereta untuk angkutan masal harus lengkap [perencanaannya], misal Jakarta butuh 200 Kilometer [rel] baru Jakarta bebas macet. Kita pinjam 40 tahun, sementara kerugian ekonomis macet Rp100 triliun per tahun maka 4 tahun sudah kembali. Tapi secara bisnis tidak masuk maka butuh subsidi," katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Anggara Pernando
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper