Bisnis.com, JAKARTA -- Persoalan lahan berstatus Hak Guna Usaha yang dikuasai negara menyeruak dalam debat putaran kedua Pilpres 2019, Minggu (17/2/2019). Saat itu, kedua calon presiden sedang membahas soal reforma agraria di Indonesia.
Calon presiden (capres) nomor urut 01 Joko Widodo menyinggung penguasaan lahan seluas 220.000 hektare (ha) di Kalimantan Timur (Kaltim) dan 120.000 ha di Aceh Tengah oleh lawannya, Prabowo Subianto. Prabowo mengakui penguasaan lahan itu dan menganggap lebih baik lahan tersebut dimilikinya daripada dikelola pihak asing.
Perdebatan soal HGU pun bergulir hingga sekarang. Masing-masing kubu peserta Pilpres 2019 pun saling tuding banyaknya HGU atas lahan yang dimiliki elite-elite politik di pihak lawan.
HGU, menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. HGU bisa diberikan untuk jangka waktu maksimal 35 tahun dan dapat diperpanjang maksimal 25 tahun.
Presiden Joko Widodo (tengah) memperhatikan panen raya jagung di Perhutanan Sosial, Ngimbang, Tuban, Jawa Timur, Jumat (9/3/2018)./ANTARA-Zabur Karuru
Baca Juga
Pemerintah bisa memberikan HGU kepada setiap Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum yang didirikan dan berada di Indonesia. Untuk individu, HGU bisa diberikan atas luas tanah maksimal 25 ha.
HGU atas sebuah lahan bisa hilang jika jangka waktunya berakhir, dihentikan karena sesuatu syarat tidak dipenuhi, dilepaskan oleh pemegang haknya, dicabut untuk kepentingan umum, ditelantarkan, atau tanahnya musnah. Badan hukum atau individu yang tidak lagi berstatus WNI juga wajib melepas HGU-nya.
Menurut ahli hukum agraria dari Universitas Andalas Kurnia Warman, pemegang HGU tidak berarti memiliki lahan yang digunakannya. Status tanah yang mereka gunakan tetap milik negara.
Penguasaan atas lahan itu dibatasi waktunya maksimal 60 tahun, sesuai isi UUPA. Tetapi, sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996 terbit, HGU bisa dimiliki individu atau badan hukum hingga maksimal 120 tahun.
“Subjek hukum bisa memperoleh HGU dengan cara membeli hak yang sudah ada, tapi itu jarang. Umumnya HGU diperoleh tanpa membeli dari pemegang HGU lama,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (20/2).
Proses Mendapatkan HGU
Ada tahapan panjang yang harus dilalui agar HGU bisa dimiliki individu atau badan hukum. Pertama, si pemohon harus memperoleh izin usaha dan lokasi dulu dari pemerintah daerah.
Warga mengurus surat tanah di mobil keliling milik Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Ungaran, Jawa Tengah, Rabu (10/10/2018)./Antara-Aditya Pradana Putra
Pada izin itu tercantum jangka waktu dan lokasi usaha yang akan dibuka. Setelah memperoleh kedua izin itu, pihak pemohon harus mengurus perolehan tanah.
Proses perolehan tanah biasanya melibatkan masyarakat yang lahannya akan dijadikan tempat usaha. Pemohon HGU wajib memberi ganti rugi kepada masyarakat yang lahannya hendak dipakai.
Pada tahap ini, biasanya konflik antara masyarakat dan pemohon atau negara mulai muncul.
Setelah tanah diperoleh, negara mengeluarkan HGU untuk pemohon. Pemakaian lahan pun berlangsung hingga jangka waktu yang ditentukan.
Kurnia mengatakan dalam proses penerbitan HGU negara sebenarnya mendapat untung. Sebab, mereka tidak mengeluarkan uang sama sekali untuk mengambil lahan yang tadinya dikuasai masyarakat.
“Jadi akan aneh ketika pemerintah menanyakan luasan HGU yang diberikan kepada pengusaha. Berarti pemerintah menelan ludahnya sendiri karena dia sudah memberi izin, lalu disalahkannya sendiri. Sebetulnya proses tata kelola HGU sangat menguntungkan pemerintah, tapi tidak adil bagi rakyat,” tuturnya.
Data Belum Terbuka
Pendataan HGU atas lahan-lahan di Indonesia selama ini dilakukan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Negara (ATR/BPN). Namun, data pemegang HGU di Indonesia selama ini belum dibuka ke publik meski keterbukaan atas informasi tersebut mendesak dilakukan.
Pada 2017, Mahkamah Agung (MA) sebenarnya sudah mengeluarkan putusan yang mengharuskan pemerintah membuka data terkait HGU. Keputusan itu keluar dalam perkara yang diajukan Forest Watch Indonesia (FWI).
Warga terdampak pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) mengadu ke Pusat Layanan Informasi di Temon, Kulonprogo, DI Yogyakarta, Senin (5/2/2018)./Antara
Kepala Bagian Humas Kementerian ATR/BPN Harison Mocodompis mengemukakan pembukaan data ihwal HGU masih menunggu proses konsultasi pihaknya dengan Komisi Informasi Publik (KIP). Meski demikian, dia memastikan kementeriannya bisa memberikan data umum perihal luas dan sebaran HGU di Indonesia.
“Kami masih dalam masa konsultasi dengan KIP terkait info mana yang mau dibuka. Karena kan info terkait HGU ini ada yang [berupa] sebarannya, jumlahnya, tapi ada juga informasi subjek atau pemegang hak. Nah, informasi mengenai hak-hak privat seseorang kan dilindungi UU juga,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu (20/2).
Harison juga menyebut tanah yang sudah ada HGU-nya bukan lagi milik negara. Menurutnya, sebuah lahan bisa dikatakan tanah negara jika belum melekat hak atasnya.
Pemilik HGU pun disebut berhak mengalihkan atau mengagunkan lahan yang digunakan. Kepemilikan lahan yang terkena HGU baru kembali ke negara jika masa berlaku HGU telah habis.
“Kan tanah negara itu apabila tanah tersebut belum dilekati sebuah hak apapun. Jadi itu ada hamparan tanah kosong, kebetulan sudah dikuasai orang tapi belum ada haknya. Nah, kalau itu bukan milik adat maka statusnya milik negara,” lanjutnya.
Akar Masalah HGU
Bagi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pemberian HGU selama ini kerap bermasalah. Masalah utamanya adalah HGU banyak diberikan kepada korporasi sejak era Orde Baru hingga sekarang.
Ketua Dewan Nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Iwan Nurdin menyatakan pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberian hak atas lahan kepada koperasi atau masyarakat yang belum memiliki tanah. Praktik yang dilakukan selama ini dianggapnya semakin memperbesar kesenjangan kepemilikan lahan di Indonesia.
Demonstrasi menolak pabrik semen baru PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. di Rembang, Jawa Tengah./Antara
“Kedua, tanah-tanah yang diberikan HGU seringkali berada di atas tanah masyarakat, jadi tumpang tindih dengan klaim masyarakat adat, petani, dan sering kalau sudah begitu masyarakat dikalahkan. Prioritas memberikan ke perusahaan itu mengesampingkan kenyataan bahwa tanah-tanah itu sebagian besar sudah digarap masyarakat,” imbuhnya.
KPA memandang perusahaan swasta harusnya fokus pada pengolahan hasil perkebunan, pertanian, perikanan, atau peternakan. Sementara itu, penggarapan lahan produksi idealnya diserahkan kepada masyarakat.
Iwan memandang selama ini banyak perusahaan yang memonopoli proses produksi hingga pengolahan hasil perkebunan, pertanian, perikanan, atau peternakan di atas lahan HGU. Oleh karena itu, ketimpangan pun akhirnya muncul.
KPA juga mendesak pemerintah segera membuka semua data terkait HGU ke publik. Mereka percaya keterbukaan informasi bisa memperkecil potensi terjadinya praktik korupsi, pungutan liar (pungli), atau konflik agraria akibat HGU.
“Karena dengan data terbuka, BPN berkewajiban memperlihatkan prapendaftarannya bagaimana, apakah sudah ada izin lokasinya, sudah ada Amdal [Analisis Mengenai Dampak Lingkungan], izin usahanya, kemudian proses pendaftarannya gimana? Apakah masyarakat di perbatasan diikutsertakan? Kemudian, bagaimana untuk menyosialisasikan diri? Kemudian, kita bisa tahu sertifikatnya dulu apakah sesuai prosedur atau tidak. Proses itu akan mengurangi prakti pungli, korupsi, dan bisa mencegah konflik agraria,” paparnya.