Bisnis.com, JAKRTA – Debat calon presiden tahap kedua telah usai, namun berbagai isu yang dilontarkan kedua kandidat pada Minggu (17/2/2019) masih terus jadi bahasan.
Salah satunya soal kepemilikan HGU hutan ratusan ribu hektare oleh Prabowo Subianto, yang diungkap oleh capres petahana Joko Widodo. Serangan dari Jokowi itu sempat jadi polemik lantaran dianggap serangan personal ke Prabowo.
Namun, sebagian pihak membaca bahwa Prabowo sendiri tidak punya konsep yang jelas dalam hal reforma agraria. Pasalnya, kepemilikan hak guna usaha (HGU) itu dinilai mencerminkan adanya ketimpangan penguasaan lahan di Tanah Air.
Prabowo yang sering menyebut bahwa segelintir orang menguasai kekayaan dalam hal ini tanah sebagai sumber daya alam, justru menjadi bagian di dalamnya.
“Itu cerminan ketimpangan penguasaan lahan jika dibandingkan dengan jutaan rakyat yang bekerja di sektor pertanian yang tidak memiliki tanah atau buruh tani di negeri ini,” kata ketua tim juru kampanye hutan Greenpeace Arie Rompas melalui pesan singkat Senin (18/2).
Saat ini, kata Arie kepemilikan lahan lebih banyak dikuasai korporasi daripada rakyat kecil. Padahal kepemilikan lahan bagi rakyat kecil menyokong ekonomi dan penghidupan mereka. “Prabowo adalah salah satu pemain bisnis penggunaan lahan,” tegasnya.
Prabowo sendiri mengakui soal HGU ratusan ribu hektare lahan tersebut. Namun, dia tegas menyebut bahwa lahan tersebut adalah milik negara dan ia siap mengembalikannya jika sewaktu-waktu diminta. Menurutnya, daripada diserahkan kepada pihak asing, maka lebih baik jika ia yang pegang lantaran Prabowo mengaku sebagai nasionalis.
Sementara itu, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih menilai Prabowo, jika terpilih, akan kesulitan untuk menerapkan reforma agraria. Fakta kepemilikan GHU seluas 220.000 hektare di Kalimantan Timur dan 120.000 hektare di Aceh itu jadi salah satu alasannya.
“Bagaimana Prabowo akan melakukan reforma agraria jika ia sendiri adalah salah satu orang yang menguasai ratusan ribu hektar tanah di berbagai wilayah di Indonesia, yang justru menyebabkan ketimpangan kepenguasaan agraria,” katanya, Selasa (19/2/2019).
Menurut dia, upaya reforma agraria Jokowi lebih konkret dengan meningkatkan kesejahteraan dan mewujudkan kedaulatan pangan. Pemberian sertifikat bagi masyarakat pemilik tanah juga menjadikan masyarakat memiliki akses ke lembaga formal seperti bank.
Prabowo, dalam debat, berjanji untuk menghentikan bagi-bagi sertifikat tanah lantaran akan menyebabkan tanah habis. Ia mengklaim akan kembali pada Pasal 33 UUD 1945, yang akan mengembalikan penguasaan tanah kepada negara. Satu pasal yang dinilai paling ‘sosialis’ dalam konstitusi Indonesia.
Henry mengatakan bahwa gagasan reforma agraria Prabowo kontradiktif dengan fakta kepemilikan lahan yang mencapai ratusan ribu hektare. Padahal, keadilan agraria itu sendiri adalah suatu keadaan dimana tidak ada konsentrasi berlebihan dalam penguasaan dan pemanfaatan atas sumber-sumber agraria pada segelintir orang.
Selama masa kepemimpinannya, kata Henry, Jokowi telah melaksanakan kebijakan reforma agraria. Pemerintahan Jokowi telah mendistribusikan lahan ke petani kecil dan masyarakat adat dan akan terus melanjutkan kebijakan ini pada masa pemerintahannya yang akan datang.
“Pemerintahan Jokowi tidak ada menerbitkan izin-izin penggunaan lahan baru bagi perusahaan-perusahaan besar. Hal ini berbeda jauh dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya yang ‘murah hati’ terhadap perusahaan-perusahaan tersebut,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon menilai HGU yang dikuasai Prabowo tidak berarti lahan tersebut dikuasai calon presiden nomor urut 02 itu. Menurutnya, konglomerat-konglomerat lain menguasai lebih banyak HGU.