Bisnis.com, JAKARTA—Indonesia terletak di kawasan yang sangat rentan dengan bencana alam. Tidak hanya bencana alam yang terjadi secara alami seperti gempa, badai, angin puting beliung, dan topan, tetapi juga bencana alam akibat ulah manusia dan teknologi seperti banjir, longsor,dan kekeringan.
Dunia melakukan deforestasi atau penebangan hutan untuk dijadikan permukiman dan lahan pertanian. “Ironisnya hutan semakin banyak ditebang, tetapi lahan pertanian pun berkurang karena perindustrian juga semakin berkembang,” kata arsitek dari Akanoma Studio, Yu Sing.
Tidak heran kalau hampir seluruh wilayah yang hutannya ditebangi, pasti mengalami masalah banjir. Karena alam tidak dipedulikan, masalah banjir tak kunjung selesai dari tahun ke tahun di Tanah Air. Masalah darurat ini timbul tanpa ada solusi yang mumpuni.
Padahal, menurut Yu Sing, Indonesia merupakan wilayah kepulauan dengan 2/3 bagian adalah laut, bahkan di bagian daratnya juga masih terdapat rawa, sungai, dan danau. “Sayangnya pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai air sangat sedikit, bahkan arsitek yang membahas soal arsitektur air sangat jarang,” ujarnya.
Seperti Jakarta, menurut Yu Sing dulunya adalah kota air yang berubah menjadi kota daratan memiliki masalah banjir yang tak kunjung selesai sejak ratusan tahun lalu.
“Banyak daerah Indonesia yang tidak mampu mengatasi banjir karena bangunan yang tidak sensitif air,”tambah alumnus teknik arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut. Ini yang membuat saat musim hujan masyarakat kewalahan dengan banjir dan ketika musim kemarau tiba justru terjadi krisis air bersih.
Bukan rahasia lagi bahwa wilayah Indonesia terletak di kawasan cincin api dengan sebaran gunung berapi aktif yang banyak dan jalur patahan lempeng bumi. Rakyat Indonesia semestinya sudah tahu bahwa hal ini membuat Tanah Air berisiko mengalami gempa baik tektonik maupun vulkanik.
Menurut Yu Sing, banyak sekali rumah tradisional di Indonesia terbuat dari kayu dan bambu yang sebetulnya tahan gempa. Tetapi sayangnya, Yu Sing menilai pemerintah membuat kesalahan saat mendefinisikan rumah tradisional tahan gempa itu sebagai rumah tidak layak huni.
Rumah tidak layak huni yang dimaksud pemerintah adalah rumah dengan bahan lantai tanah atau kayu kelas IV, dinding kayu, bambu, atau rotan, atap daun, rusak berat, dan luas bangunan tidak mencukupi standar keluarga.
Rumah tidak layak huni bagi pemerintah ini kemudian memperoleh program bedah rumah dari pemerintah. “Akibatnya, rumah tradisional itu semakin punah, digantikan dengan rumah dengan material industri yang belum tentu tahan gempa,” kata Yu Sing lagi.
Yu Sing menyayangkan kurangnya kesadaran masyarakat dalam hal ini sementara negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Inggris tengah berlomba-lomba menggunakan material alami untuk membangun.
Bagi Yu Sing belum terlambat untuk memulai pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah di dalam negeri. Indonesia memiliki banyak preseden arsitektur lestari yang berasal dari material alami.
Pemanfaatan daun sagu, misalnya. Menurut Yu Sing, pelepah daun sagu bisa digunakan sebagai dinding rumah seperti Rumah Gaba di Tidore. Namun, pelepah daun sagu tidak lagi jamak ditemui karena pohon sagu ditebang dan tidak dilestarikan.
Sama halnya dengan daun nipah. Dahulu dimanfaatkan sebagai atap dan dinding yang dapat bertahan 5-10 tahun. Tetapi, kini banyak orang yang mengganti daun nipah dengan seng dengan alasan lebih tahan lama.
Untuk masyarakat perkotaan yang rentan banjir, Yu Sing mengatakan bahwa rumah panggung adalah solusi. Daerah Kelapa Gading Jakarta dulu merupakan area tangkapan air yang dibangun menjadi kawasan kota. Karena pada dasarnya Kelapa Gading adalah area tangkapan air, ini yang membuat daerah tersebut sering kebanjiran.
“Arsitektur tanggap bencana yang bisa diupayakan adalah rumah sensitif air seperti rumah panggung Betawi,” kata Yu Sing. Rumah panggung yang tinggi dapat menampung air hujan di bawahnya, sehingga ketika banjir terjadi air tidak memasuki rumah.
Air hujan itu kemudian dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga, bahkan komersial seperti tambak ikan. Yu Sing mengatakan seandainya rumah di area tangkapan air adalah rumah panggung, maka air bukan lagi sebagai banjir yang mengganggu, tetapi berkat yang bisa dikelola.