Bisnis.com, JAKARTA - Insiden penolakan salib, doa-doa upacara keagamaan, dan ibadah mendoakan arwah, di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta dinilai sebagai momentum untuk melakukan rekonstruksi toleransi.
Insiden terkait meninggalnya Albertus Slamet Sugihardi itu telah menyita perhatian publik.
Direktur Riset Setara Institute Halili sangat menyayangkan terjadinya kasus tersebut. Ia menyebutkan hal itu mengindikasikan melemahnya basis sosial toleransi di Yogyakarta. Hal itu juga menegaskan paradoks besar bagi Yogyakarta yang mendaku sebagai City of Tolerance.
"Dalam perspektif kebhinekaan dan kesetaraan hak konstitusional untuk memeluk agama secara merdeka, tindakan kelompok mayoritas tersebut tidak dapat dibenarkan," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (19/12/2018).
Menurut Halili, intoleransi yang terjadi seputar meninggalnya Albertus Slamet menyiratkan beberapa sisi minus, yakni:
- pertama, pengerasan konservatisme keagamaan sudah menjangkau lapis sosial terbawah
- kedua, penguatan simbolisme keagamaan tidak hanya berdampak pada penebalan politik identitas tapi juga penguatan kecemasan, ketakutan, dan keterancaman atas simbol-simbol identitas yan berbeda (liyan)
- ketiga, mayoritarianisme hampir selalu bekerja melalui penundukan kelompok minoritas dengan logika kerukunan.
Pernyataan bermaterai yang kemudian dibuat keluarga Slamet, baik dalam simulasi permintaan warga yang mayoritas maupun keikhlasan keluarga yang minoritas, merupakan penundukan kepada hal yang secara kuantitatif sedikit dan secara sosio-politis lemah menggunakan logika kerukunan.
Baca Juga
"Indeks Kota Toleran 2018 yang dirilis Setara Institute beberapa waktu yang lalu memang masih mencatat masalah besar dalam praktik dan promosi toleransi di Yogyakarta, karenanya meskipun tidak lagi berada di bottom ten, Yogyakarta masih berada di klaster orange dengan skor toleransi 4,883 dalam skala 1 sampai 7," jelasnya.
Halili melanjutkan, data studi indexing dimaksud menunjukkan masih sangat rendahnya toleransi di Yogyakarta pada tiga dari delapan indikator, yaitu:
- rencana pembangunan
- tindakan pemerintah, dan
- inklusi sosial keagamaan
Kasus Purbayan menegaskan buruknya inklusi sosial keagamaan. Hal itu menuntut tindakan pemerintah yang lebih inklusif dan membelajarkan, serta perencanaan program-program pembangunan sosial yang lebih inklusif dan kondusif bagi praktik dan promosi toleransi.
Dalam konteks itu, lanjutnya, Setara Institute meminta Sultan Hamengkubuwono X mengoptimalkan otoritas sosio-politik dan sosio-kulturalnya untuk mengambil peran besar dalam praktik dan promosi toleransi dengan menjamin kesetaraan hak seluruh warga, baik yang banyak maupun yang sedikit.
"Selain itu, Setara Institute juga menuntut agar otoritas bidang pendidikan di kota yang dikenal sebagai Kota Pendidikan ini mengambil prakarsa yang lebih untuk membangun toleransi dan memperkuat kebhinekaan dalam keseharian hidup warganya serta mengkonkretkan Pancasila sebagai basis nilai dan sistem etika kolektif," ujar Halili.
Setara Institute juga mengimbau optimalisasi peran para tokoh agama untuk mengarusutamakan moderasi paham keagamaan dan membangun tata sosial yang inklusif dan kohesi sosial yang menghimpun seluruh perbedaan identitas untuk dapat hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).
"Kasus intoleransi di Purbayan harus dijadikan pintu masuk untuk membangun kembali toleransi di Jogja," ujarnya.