Bisnis.com, JAKARTA - Dalam khazanah ilmu komunikasi dikenal teori disonansi kognitif. Teori yang berdasarkan pada pendekatan psikologi tersebut menjelaskan bagaimana seseorang mencoba menyelaraskan diri dalam berbagai situasi. Kata kuncinya adalah kenyamanan dalam situasi baru.
Berdasar teori itu, juga bisa diciptakan kondisi agar seseorang merasa tidak nyaman dan kemudian menyesuaikan diri dengan kondisi yang telah direkayasa.
Ketakutan, tekanan, dan sejenisnya bisa membuat seseorang bimbang dengan keyakinan selama ini. Saat itulah, secara teoritis seseorang bisa dipengaruhi.
Terkait pilpres 2019, banyak hal yang mungkin dilakukan masing-masing kubu. Berbagai pendekatan bisa dicoba termasuk pendekatan disonansi tersebut.
Pendekatan lain yang mungkin dilakukan, dan kini menjadi bahan perbincangan hangat adalah penerapan neurosains.
Ahli neurologi dan pakar biologi molekuler dr Roslan Yuni Hasan Sp.BS menjelaskan bahwa bidang ilmu neurosains atau ilmu saraf belakangan ini kerap digunakan dalam kontestasi pemilihan presiden.
Roslan yang akrab disapa Ryu Hasan mengatakan di Jakarta, Senin (26/11/2018), ilmu pengetahuan telah terbukti digunakan saat pemilihan presiden Amerika Serikat dua tahun silam. Pendekatan yang sama kemudian juga dilakukan pada pemilihan presiden di Brasil beberapa waktu lalu.
Ryu Hasan mengungkapkan bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump menggunakan jasa neuroscientist untuk memetakan sifat orang Amerika dan memanipulasinya dengan ilmu saraf agar bisa memilihnya pada pemilihan presiden.
Kubu lawan politiknya pada saat itu, Hillary Clinton, merasa amat percaya diri bahwa Trump yang berkampanye dengan banyak mengeluarkan pernyataan dan sikapnya yang kontroversial tidak akan dipilih oleh warga Amerika.
"Kalau kita lihat saat Donald Trump ngomong aneh-aneh itu, kubunya Hillary percaya diri banget itu nggak mungkin orang gila ini dipilih, ternyata dipilih," ujar Ryu.
Begitu halnya pada pemilihan presiden di Brasil yang dimenangkan Jair Bolsonaro 28 Oktober lalu. Bolsonaro memiliki pola yang sama dengan apa yang dilakukan Trump pada pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 2016.
Bolsonaro yang merupakan purnawirawan militer membangun narasi kampanyenya mirip seperti Trump dengan penuh kebencian dan rasis. Presiden terpilih Brasil yang mengaku sebagai pengagum Trump tersebut juga secara terang-terangan ingin membawa pemerintahan secara diktator militer.
Hasilnya, Bolsonaro yang diperkirakan tidak akan terpilih tetap memenangkan pemilu yang akan membawanya menjadi Presiden Brasil secara definitif per 1 Januari 2019.
"Mereka merumuskan cara itu dengan bukti. Mereka ambil sampel orang Amerika di tiap negara bagian, dilihat sampai tingkat kromosom, kemudian di-MRI (magnetic resonance imaging) fungsional, semua ada datanya," kata dokter Ryu.
Data hasil penelitian tersebut kemudian digunakan sebagai acuan untuk mencari sistem di otak manusia, yang merupakan sampel dari suatu masyarakat, agar bisa merespons untuk memilih suatu pilihan tertentu.
Faktor yang membuat sistem neurosains ini sukses di Amerika dan Brasil ialah kesamaan masyarakat yang begitu religius. "Yang satu Katolik banget, yang satu evangelis banget. Sama dengan di Indonesia, Islam banget," kata dia.
Masyarakat yang religius, kata Ryu, merupakan kalangan masyarakat yang paling mudah dimanipulasi dengan menggunakan neuorosains.
Lebih lanjut dengan melihat kondisi politik saat ini di Indonesia, menurut dia, terlihat pola-pola yang sama yang dilakukan oleh salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden di Indonesia yang menggunakan pola seperti Trump dan Bolsonaro.
"Kayaknya suasananya sama, tapi kita nggak punya bukti itu," kata Ryu.