Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menyatakan program World Class Professor bukan digelar untuk menyaingi dosen dalam negeri tapi ditujukan untuk memperkuat kolaborasi antara dosen dalam negeri dan profesor kelas dunia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Ali Ghufron Mukti mengatakan program ini diharapkan dapat meningkatkan kolaborasi dengan profesor kelas dunia untuk memperkuat inovasi dan publikasi.
“Profesor kelas dunia yang bergabung pada Program WCP tidak hanya berasal dari luar negeri, tetapi juga profesor dalam negeri yang berkelas dunia, bahkan para diaspora yang telah sukses meniti karier di kampus terbaik dunia,” jelasnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (16/11/2018).
Saat ini, ada 23 negara yang terlibat dalam program WCP. Jumlah perguruan tinggi penyelenggara WCP untuk skema A pada tahun ini tercatat sebanyak 9 universitas yang terdiri atas 8 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 1 Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
PTN yang berpartisipasi adalah Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Univevrsitas Airlangga (Unair), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Syiah Kuala. Adapun PTS yang ikut serta adalah Universitas Islam Indonesia (UII).
Sementara itu, untuk program WCP Skema B ada 21 universitas yang terdiri atas 15 PTN dan 6 PTS.
Ali Ghufron mengungkapkan program WCP tahun ini bahkan melebihi target Kemenristekdikti, yakni dari target 70 orang menjadi 115 orang. Dari jumlah tersebut, 67 orang mengikuti Skema A dan 48 orang mengikuti WCP Skema B.
“Artinya, sebanyak 10% dari total profesor kelas dunia tersebut telah memenuhi h-index Scopus lebih dari 10. Sebab, untuk mengikuti Program WCP Skema A, profesor yang bersangkutan harus memiliki h-index Scopus lebih dari atau sama dengan 20. Sementara itu, untuk mengikuti Program WCP Skema B, profesor kelas dunia yang diundang harus memenuhi h-index Scopus lebih dari atau sama dengan 10,” paparnya.
Annual Seminar WCP menjadi ajang untuk mengevaluasi capaian WCP yang telah berlangsung sejak Mei 2018. Kendati demikian, kegiatan dan lama penelitian bergantung pada kesepakatan kedua belah pihak, yakni selama 2-4 bulan.
Hingga saat ini, progres sementara dari capaian publikasi yang telah dipantau oleh tim pakar WCP adalah 60%. Seminar ini juga menampilkan 60 poster penelitian hasil kolaborasi profesor WCP dengan dosen perguruan tinggi Indonesia.
“Saat ini, yang berstatus published ada 2, revised ada 4, accepted ada 1, under reviewed ada 20, dan submitted ada 35. Targetnya, program ini bisa menghasilkan 115 publikasi,” sebut Ghufron.
Kemenristekdikti juga mendorong peningkatan jumlah sitasi, inovasi, dan hak paten. Oleh sebab itu, penting bagi setiap universitas untuk terhubung dengan industri dan masyarakat. Lebih lanjut, WCP juga diharapkan mampu menambah profesor hebat berkelas dunia asal Indonesia.
“Jumlah profesor sekarang sudah lumayan banyak dan diharapkan dengan program ini dapat memacu lektor untuk produktif sehingga bisa menjadi profesor. Namun, pekerjaan rumah selanjutnya adalah menambah dosen berkualifikasi S-3 yang masih 31.054 orang. Untuk jumlah publikasi tahun ini, kita sudah nomor dua di Asean, di bawah Malaysia dengan 20.610 publikasi terindeks Scopus,” terang Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) tersebut.
Direktur Karier dan Kompetensi SDM Kemenristekdikti Bunyamin Maftuh menegaskan bahwa meskipun mengutamakan output berupa publikasi, Program WCP tidak memberikan hibah penelitian. Program ini dikhususkan bagi mereka yang sudah selesai meneliti dan memiliki draf tulisan untuk publikasi di jurnal bereputasi.
“Trennya sekarang banyak dosen muda yang sudah doktor, memiliki semangat tinggi untuk menulis publikasi,” ucapnya.