Bisnis.com, JAKARTA - Rencana parlemen menggarap RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sebaiknya dikaji ulang karena keduanya memiliki substansi yang berbeda.
Pengamat Politik dari President University Mohammad AS Hikam menyatakan draf RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan sangat berpotensi memecah belah antar umat beragama. Dia menilai cara berpikir dalam RUU tersebut menyamakan pesantren dengan pendidikan keagamaan lain yang jelas berbeda.
"RUU itu sebaiknya menjadi lex specialis khusus pesantren. Dan ini memerlukan afirmative action dari negara," kata AS Hikam di Megawati Institute dalam Diskusi Buku Islam, Pancasila, dan Deradikalisasi karya Syaiful Arif, Senin (5/11/2018).
AS Hikam menyebut RUU Pesantren sebaiknya dikhususkan untuk pesantren dan bukan untuk agama lain. Wacana dari RUU Pesantren dan Pendidikan Agama menurut AS Hikam terlalu melebar dan membuat seolah-olah apapun yang dilakukan agama di negara Indonesia harus diatur undang-undang.
"Saya jadi ketawa melihat sekolah minggu diatur dan ini harusnya disesuaikan dari agama Kristen dan Katolik seperti apa," terangnya.
Dia menilai pihak yang merumuskan draf RUU tersebut nampak tidak memiliki pemahaman tentang pendidikan keagamaan. AS Hikam bahkan memprediksi belum tentu anggota dewan yang menyusun rancangan tersebut.
Dia pun menegaskan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan yang masih harus dikaji ini menandakan lemahnya kapasitas legal formal di Indonesia.
Sebagai informasi, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tengah mempersiapka draf persandingan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Dia berharap sandingan ini bisa mengakhiri problematika dari rancangan tersebut terutama tentang pasal pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi.
Problematika ini juga sampai memunculkan petisi melalui change.org berjudul 'Negara Tidak Perlu Mengatur Sekolah Minggu dan Katekisasi'. Petisi ini dibuat oleh Jusuf Nikolas Anamofa. Dia mengatakan, dalam RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan, ada upaya pengusulan agar pendidikan non-formal agama-agama diatur dalam UU.
Misalnya dalam Pasal 69 (1) menegaskan bahwa sekolah minggu dan katekisasi termasuk jalur pendidikan non-formal agama Kristen. Pasal 69 (3) menegaskan bahwa jumlah peserta didik pendidikan non-formal agama Kristen paling sedikit 15 orang. Pasal 69 (4) menegaskan bahwa harus ada ijin dari pemerintah Kabupaten/Kota untuk penyelenggaraan Sekolah Minggu dan katekisasi.