Kabar24.com, JAKARTA — Kalangan akademisi menilai hak pemegang saham untuk membubarkan perseroan terbatas melalui pengadilan perlu dijamin oleh UU No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas atau UU PT.
Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT memang mencantumkan hak pemegang saham, direksi atau dewan komisaris untuk memohonkan pembubaran di pengadilan negeri (PN) dengan alasan perseroan tidak mungkin dilanjutkan. Namun, penjelasan norma tersebut justru ‘mengebiri’ hak pemegang saham.
Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT pada butir a memuat indikasi tidak mungkin dilanjutkannya perseroan karena berstatus nonaktif melakukan usaha selama minimal tiga tahun. Kondisi nonaktif dibuktikan dengan surat pemberitahuan kepada instansi pajak.
Faktanya, PN menolak permohonan pembubaran PT karena pemegang saham dianggap tidak berhak mewakili perusahaan di pengadilan. Pengadilan mengacu pada UU PT yang memang mencantumkan tanggung jawab direksi menjalankan fungsi representasi tersebut.
Guru Besar Emeritus Hukum Tata Negara Universitas Sriwijaya (Unsri) A.S. Natabaya menilai seharusnya fungsi representasi direksi di pengadilan hangus manakala PT setop operasional selama minimal tiga tahun. Tidak aktifnya perusahaan menandakan tujuan pendirian PT untuk mencari keuntungan gagal terlaksana.
Karena itu, tutur dia, Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT memberikan solusi bagi pemegang saham untuk memohonkan pembubaran perseroan miliknya ke PN. Celakanya, PN tetap beranggapan direksilah yang bertugas menyampaikan surat pemberitahuan kepada instansi pajak sebagaimana bunyi penjelasan norma tersebut.
“Jadi persoalannya di UU PT ini adalah ketidaksinkronan pasal dengan penjelasannya,” kata Natabaya dalam sidang uji materi UU PT di Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Siti Anisah menambahkan ketidaksinkronan itu merugikan hak pemegang saham. Bukan mustahil, menurut dia, selama tiga tahun nonaktif perseroan sudah tidak lagi memiliki direksi.
Di sisi lain, mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS) tidak dapat mengambil keputusan manakala komposisi pihak yang pro dan kontra pembubaran seimbang 50%: 50%. Dengan demikian, jaminan pemegang saham untuk membubarkan perseroan terpasung.
“Pembubaran lewat pengadilan merupakan pintu darurat kepada pemegang saham agar haknya dijamin hukum,” ujarnya.
Berdasarkan Pasal 142 UU PT, perseroan dapat bubar melalui keputusan RUPS, jangka waktu berdiri berakhir, penetapan pengadilan, dicabutnya izin, dan faktor pailit. PN juga dapat membubarkan perseroan—seperti tercantum pada Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT—atas permohonan pemegang saham, direksi, atau dewan komisaris berdasarkan alasan perseroan tidak mungkin dilanjutkan.
PT Baraventura Pratama (BVP) menggunakan ketentuan itu ketika hendak membubarkan anak usahanya, PT Artha Komoditi & Energy Services (AKES), yang sudah tidak aktif berusaha selama lebih dari tiga tahun. Sebagai pemilik 50% saham AKES, BVP mengajukan permohonan pembubaran ke PN Jakarta Pusat pada 2015.
Kepada pemohon, PN meminta bukti surat pemberitahuan kepada instansi pajak bahwa perusahaan tidak aktif. Surat pemberitahuan kepada instansi pajak tersebut diajukan oleh pemegang saham mengingat masa jabatan direksi sudah berakhir.
Namun, PN menganggap hanya direksi yang berhak menyurati instansi pajak. Permohohan Baraventura pun dinyatakan tidak diterima oleh PN pada 2016 dan dikuatkan dengan putusan Mahkamah Agung.
Tidak puas, BVP mengajukan permohonan uji materi Penjelasan Pasal 146 ayat (1) huruf c UU PT ke Mahkamah Konstitusi. BVP meminta MK membolehkan pemegang saham untuk memberitahukan kepada instansi pajak tentang tidak aktifnya perseroan sehingga pemohon dapat mengajukan pembubaran PT ke PN.